Di antara program unggulan Presiden Prabowo Subianto, satu inisiatif mengundang perhatian: makan bergizi gratis bagi jutaan anak dan balita Indonesia.
Melalui Sarjana Penggerak Pembangunan Indonesia (SPPI), 1.063 sarjana kini ditempa di Pusat Pendidikan Infanteri, Cipatat, Bandung.
Diperkuat dengan pelatihan militer, mereka bersiap memastikan distribusi makanan bergizi berjalan tepat sasaran.
Namun, pendekatan ini menyisakan tanda tanya: apakah pelatihan militer relevan dalam program gizi?
Dan dengan anggaran Rp71 triliun, bagaimana memastikan program ini benar-benar menjawab kebutuhan?
Tulisan ini menggali lebih dalam, menimbang logika dan tantangan di balik program ambisius ini.
Mengapa Pelatihan Militer?
Menurut data dari Abadikini, pelatihan militer yang diberikan kepada para sarjana bertujuan untuk membentuk karakter disiplin, kepemimpinan, dan ketahanan fisik.
Ini adalah keterampilan yang esensial, khususnya untuk tugas yang membutuhkan koordinasi dan pengawasan ketat seperti distribusi makanan bergizi yang melibatkan banyak lapisan masyarakat dan tantangan logistik.
Di satu sisi, kita bisa memahami bahwa pelatihan militer mungkin bermanfaat dalam membentuk mentalitas "siap tempur" bagi para sarjana dalam menghadapi tugas besar di lapangan.
Tetapi, benarkah pelatihan militer adalah satu-satunya jalan untuk mengasah keterampilan ini?
Pertanyaan ini mengusik.