Lihat ke Halaman Asli

Aidhil Pratama

TERVERIFIKASI

ASN | Narablog

Meretas Produktivitas dengan Empat Hari Kerja, Siapkah Indonesia?

Diperbarui: 26 Oktober 2024   06:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi waktu kerja (KOMPAS/HERYUNANTO) 

Ide menerapkan sistem kerja empat hari di Indonesia mungkin terdengar menarik. 

Bagi banyak orang, gagasan ini menawarkan harapan bagi keseimbangan hidup yang lebih baik, waktu istirahat lebih banyak, dan bahkan mungkin produktivitas yang meningkat. 

Sayangnya, situasi sosial-ekonomi dan budaya kerja di Indonesia berbeda jauh dari negara-negara maju yang berhasil menerapkannya. 

Melihat lebih dalam, banyak faktor yang perlu diperhatikan sebelum Indonesia memutuskan untuk benar-benar mengadopsi sistem kerja empat hari ini.

Menimbang Kondisi Sosial-Ekonomi di Indonesia

Menerapkan sistem kerja empat hari bukan hanya soal produktivitas atau efisiensi kerja. 

Tapi juga soal kesiapan ekonomi secara keseluruhan. 

Saat ini, Indonesia sedang mengalami deflasi selama lima bulan berturut-turut hingga Oktober 2024. 

Kondisi ini menunjukkan lemahnya daya beli masyarakat dan penurunan pendapatan riil, yang secara langsung memengaruhi pola konsumsi. 

Dengan situasi ekonomi yang masih bergejolak, tentu kita bertanya: apakah ini saat yang tepat untuk eksperimen besar seperti ini?

Indonesia juga mengalami masalah struktural di pasar kerja, di mana lebih dari 80% tenaga kerjanya berada di sektor informal. 

Berbeda dengan sektor formal yang memiliki aturan jam kerja dan perlindungan yang jelas, pekerja di sektor informal sering kali bekerja lebih lama dengan pendapatan yang rendah. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline