Pulau Penyengat, sebuah pulau kecil di Kota Tanjung Pinang, Kepulauan Riau, menyimpan kisah besar dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Di sinilah, pada pertengahan abad ke-19, Raja Ali Haji, seorang cendekiawan ulung dari Kerajaan Riau-Lingga, membakukan bahasa Melayu menjadi dasar bagi bahasa Indonesia modern.
Tak banyak yang tahu, namun kontribusi ini mengalir dalam alur sejarah yang tak pernah berhenti, mengantarkan Pulau Penyengat sebagai salah satu pilar kebangsaan kita, terutama dalam konteks bahasa.
Peran Pulau Penyengat dalam Pembakuan Bahasa
Ketika kita membicarakan bahasa Indonesia, penting untuk melihat ke belakang, ke masa-masa awal ketika bahasa ini mulai dirumuskan.
Di sinilah Raja Ali Haji berperan. Ia adalah penulis Kitab Pengetahuan Bahasa, sebuah kamus ensiklopedis yang menjadi tonggak penting dalam standardisasi bahasa Melayu, yang kelak dikenal sebagai bahasa Indonesia.
Berdasarkan informasi dari NU Online, Raja Ali Haji adalah orang pertama yang menulis kamus dan tata bahasa Melayu, sebuah langkah monumental di masanya.
Ia membakukan aturan-aturan tata bahasa Melayu yang berakar dari struktur bahasa Arab, menunjukkan bahwa Melayu sudah sejak lama bukan sekadar bahasa sehari-hari, tetapi bahasa yang mampu mengekspresikan pemikiran intelektual dan peradaban.
Dengan demikian, Pulau Penyengat bukan hanya sebuah destinasi sejarah biasa.
Ini adalah tempat di mana bahasa yang kita gunakan hari ini dipahat dengan teliti, sebuah bahasa yang nantinya menjadi alat pemersatu bangsa di tengah keragaman suku dan budaya.
Raja Ali Haji dan Kontribusinya dalam Sejarah Bangsa
Tak hanya sekadar pujangga, Raja Ali Haji adalah sosok visioner yang memahami pentingnya bahasa sebagai fondasi kebudayaan dan identitas nasional.
Pada tahun 1857-1858, ia bekerja keras membakukan bahasa Melayu di Pulau Penyengat.
Menurut artikel dari Historia, karyanya seperti Bustanul Katibin dan Gurindam Dua Belas memperlihatkan pemikirannya yang mendalam tentang bahasa, politik, agama, dan kebudayaan.