Di balik tembok pesantren yang menanamkan pendidikan akhlak dan ilmu agama, kasus kekerasan terhadap anak muncul sebagai pekerjaan rumah yang mendesak bagi Menteri Agama dan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) yang baru.
Bagaimana tidak, kekerasan di lingkungan pendidikan seperti ini menodai tujuan luhur dari pesantren sebagai tempat pendidikan yang ideal.
Melanjutkan Program Pesantren Ramah Anak
Menengok ke belakang, Menteri Agama dan Menteri PPPA sebelumnya telah melakukan beberapa langkah penting dalam menangani kekerasan anak di pesantren.
Program "Pesantren Ramah Anak" menjadi salah satu tonggak utama yang diinisiasi untuk menciptakan lingkungan yang aman, nyaman, dan bebas kekerasan bagi anak-anak di pesantren.
Program ini bukan hanya sekedar slogan, tetapi merupakan upaya nyata untuk mengubah paradigma pendidikan di pesantren yang lebih humanis dan peduli pada hak-hak anak.
Seperti yang dijelaskan oleh Suara Pesantren, program ini juga bertujuan untuk membangun kesadaran di kalangan pesantren agar dapat menyediakan lingkungan yang lebih baik bagi anak-anak dalam hal kebersihan, kesehatan, dan kenyamanan, di samping fokus utama pada pendidikan agama.
Sayangnya, meski telah ada inisiatif yang baik ini, tantangan besar masih menghadang di depan.
Menurut data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, kekerasan seksual di pesantren masih terjadi dan jumlah kasusnya cukup signifikan.
Tantangan dalam Mencegah Kekerasan
Jika kita berbicara mengenai tantangan dalam mencegah kekerasan di pesantren, ada dua faktor utama yang mengemuka.
Pertama, rendahnya kesadaran akan bentuk kekerasan nonfisik, seperti kekerasan verbal dan psikologis. Kekerasan bukan hanya soal fisik, dan inilah yang sering kali dilupakan oleh sebagian masyarakat.