Di tengah persaingan ketat Pilkada Makassar 2024, para calon walikota telah memaparkan berbagai program kerja yang dirancang untuk mengatasi pengangguran di kalangan Gen Z, yang saat ini menjadi masalah signifikan.
Andi Seto Asapa dan Rezki Mulfiati Lutfi berfokus pada Transformasi Pendidikan Berwawasan Global yang mencakup kurikulum berbasis STEAM dan beasiswa bagi mahasiswa berprestasi dan kurang mampu. Mereka juga mengusulkan pelatihan kewirausahaan berbasis teknologi untuk mendorong industri kreatif.
Di sisi lain, Munafri Arifuddin dan Aliyah Mustika Ilham menawarkan solusi dengan membuka 5 ribu lapangan kerja baru serta mendirikan Pusat Inovasi Kepemudaan, Olahraga, Seni, dan Budaya, yang diharapkan dapat mengembangkan keterampilan kreatif dan inovatif di kalangan Gen Z.
Indira Yusuf Ismail dan Ilham Ari Fauzi berfokus pada Revolusi Pendidikan Unggul Berkarakter dan Inklusif yang bertujuan untuk meningkatkan keterampilan kerja melalui pendidikan yang lebih inklusif serta kolaborasi lintas sektoral dalam pengembangan ekonomi kreatif.
Sementara itu, M. Amri Arsyid dan Abdul Rahman Bando mengusung program Transformasi Ekonomi yang berfokus pada teknologi, inovasi, dan produktivitas ekonomi tinggi, serta pendidikan yang lebih inklusif guna mengatasi kesenjangan keterampilan.
Meskipun program-program tersebut tampak menjanjikan, ada pertanyaan besar mengenai efektivitas implementasinya, terutama mengingat sebagian besar Gen Z Makassar masih bergantung pada sektor informal dan memiliki akses terbatas terhadap teknologi.
Mungkinkah program-program ini cukup kuat untuk mengatasi kesenjangan keterampilan, ketidakmerataan akses teknologi, dan kebutuhan praktis Gen Z di pasar kerja lokal?
Ketimpangan Akses Teknologi: Mengapa Sektor Digital Belum Cukup?
Tidak bisa dipungkiri, sektor digital memang menawarkan banyak peluang.
Tetapi, kenyataannya adalah akses terhadap teknologi masih terbatas bagi sebagian besar Gen Z di Makassar.
Menurut literatur MudaBicaraID, hanya sebagian kecil dari generasi ini yang memiliki keterampilan digital yang cukup untuk berkompetisi di pasar kerja berbasis teknologi.
Masalahnya bukan hanya pada keterampilan, tetapi juga pada infrastruktur teknologi yang belum merata di seluruh wilayah.