Dalam beberapa tahun terakhir, dunia ketenagakerjaan mengalami dua fenomena besar yang mengguncang perusahaan di berbagai sektor.
Istilah Quiet Quitting dan Great Resignation semakin sering terdengar, menjadi refleksi dari perubahan besar dalam dinamika kerja, terutama setelah pandemi COVID-19.
Di balik dua fenomena ini, terdapat pesan penting yang sering kali terlewat oleh manajemen perusahaan: ini adalah tanda bahwa ada masalah fundamental dalam kepemimpinan yang perlu segera diperbaiki.
Quiet quitting: Sebuah cermin untuk kebijakan manajerial
Sebelum kita memahami lebih dalam tentang dampak dari Quiet Quitting, kita perlu melihat mengapa fenomena ini muncul.
Menurut penelitian dari World Economic Forum, Quiet Quitting adalah hasil dari karyawan yang merasa tidak lagi diakui atau didukung secara memadai oleh manajemen mereka.
Ini bukan sekadar soal karyawan yang malas atau kurang termotivasi.
Sebaliknya, ini adalah bentuk protes diam-diam terhadap kebijakan manajerial yang tidak responsif.
Quiet Quitting terjadi ketika karyawan merasa bahwa upaya ekstra yang mereka lakukan tidak lagi dihargai.
Mereka tetap memenuhi tanggung jawab dasar mereka, tetapi enggan untuk berkontribusi lebih.
Menurut salah satu artikel dari SpringerLink, karyawan yang memilih jalan ini sering kali merasa terjebak dalam lingkungan kerja yang tidak fleksibel, tidak diberi kesempatan untuk berkembang, dan tidak mendapatkan pengakuan yang layak atas pekerjaan mereka.
Dalam konteks ini, manajerial yang tidak peka terhadap kebutuhan karyawan akhirnya mendorong mereka untuk mundur secara emosional, meskipun secara fisik mereka masih berada di tempat kerja.