Pada dasarnya, kita semua pasti pernah mendengar atau menyaksikan hubungan yang berjalan begitu kelam, begitu berbahaya, sehingga kita bertanya-tanya mengapa kedua pihak terus bertahan.
Hal yang sama tampaknya coba dieksplorasi oleh film Joker: Folie à Deux, yang membawa kita ke dalam kompleksitas hubungan antara Joker dan Harley Quinn—atau Lee dalam film ini.
Hubungan ini, yang oleh banyak orang mungkin terlihat seperti cinta, nyatanya lebih menyerupai sebuah mesin yang rusak, sebuah spiral kehancuran yang lambat namun pasti.
Melalui analogi inilah kita akan mengurai lebih dalam bagaimana interaksi mereka menjadi semacam mesin yang menggerus kesehatan mental dan emosional keduanya.
Dasar hubungan yang toksik
Menurut analisis dari Psychology Today, hubungan antara Joker dan Harley dalam Joker: Folie à Deux sama sekali tidak didasari cinta sejati.
Lee, yang jatuh hati pada Joker setelah melihat aksi pembunuhan yang disiarkan langsung di televisi, menandakan bagaimana ketertarikan mereka bukanlah tentang kasih sayang, melainkan obsesi dan ketertarikan pada sesuatu yang destruktif.
Joker, seorang individu yang mengalami delusi dan psikosis, menemukan "kesamaan" dengan Lee, yang mungkin secara psikologis juga rapuh.
Hubungan mereka tidak tumbuh dari empati atau pengertian, tetapi dari kebutuhan untuk menemukan seseorang yang sama-sama terbuang dari realitas sosial.
Jika kita melihat lebih jauh ke masyarakat Indonesia, hubungan seperti ini bukanlah hal yang tidak pernah terdengar.
Di beberapa kasus, kita sering mendengar kisah pasangan yang bersatu bukan karena cinta, melainkan karena ketergantungan atau trauma bersama.
Ketergantungan ini, sayangnya, justru sering kali berakhir buruk, baik secara emosional maupun fisik.