Fenomena doom spending atau belanja berlebihan sebagai respons terhadap stres semakin sering kita dengar, terutama di masa ketidakpastian ekonomi seperti sekarang.
Bagi banyak orang, berbelanja menjadi cara untuk melarikan diri dari tekanan hidup sehari-hari, meskipun sering kali efeknya hanya sementara.
Dalam konteks masyarakat Indonesia, budaya konsumsi semakin meningkat, terlebih dengan kemudahan belanja online yang memberikan akses cepat dan mudah untuk mengeluarkan uang.
Namun, pertanyaan yang muncul adalah, apakah doom spending dapat diatur agar memberikan manfaat psikologis tanpa merusak kesehatan finansial?
Bagaimana doom spending memberikan rasa Kontrol sesaat?
Secara psikologis, doom spending bisa diartikan sebagai salah satu mekanisme coping, atau cara individu mengatasi stres dan kecemasan. Menurut penelitian dari Psychology Today, belanja dapat memberikan rasa kontrol sesaat.
Ketika seseorang merasa terjebak dalam situasi yang tidak bisa dikendalikan, seperti masalah ekonomi atau tekanan sosial, melakukan pembelian bisa memberikan ilusi bahwa mereka masih memiliki kendali atas satu aspek kehidupan mereka—yakni, apa yang mereka beli.
Masyarakat Indonesia tidak terlepas dari fenomena ini. Dalam situasi ekonomi yang tidak pasti, seperti kenaikan harga kebutuhan pokok atau ketidakpastian politik, banyak orang menggunakan belanja sebagai pelarian sementara.
Hal ini mencerminkan bahwa di satu sisi, doom spending bisa memberikan manfaat jangka pendek, terutama dalam hal perasaan lega dari tekanan yang dirasakan.
Namun, sisi gelap dari doom spending adalah dampak jangka panjangnya.
Setelah kepuasan instan dari pembelian berlalu, individu sering kali dihadapkan pada rasa bersalah karena pengeluaran yang tidak perlu.
Akhirnya, stres finansial yang dirasakan bisa semakin memperburuk keadaan, menciptakan lingkaran setan antara stres dan belanja berlebihan.