Gus Dur, atau Abdurrahman Wahid, mungkin lebih dikenal oleh generasi sebelum tahun 2000-an sebagai presiden keempat Indonesia yang dilengserkan melalui proses politik yang kontroversial.
Namun, bagi generasi muda yang lahir setelah era kepemimpinannya, Gus Dur menjadi lebih dari sekadar mantan presiden.
Ia adalah simbol pluralisme, kebebasan beragama, dan perjuangan untuk demokrasi yang masih relevan hingga hari ini.
Dalam tulisan ini, kita akan melihat bagaimana generasi muda memahami warisan Gus Dur, tantangan yang mereka hadapi dalam meluruskan sejarahnya, dan pentingnya upaya edukasi dalam menjaga warisan tersebut.
1. Warisan Gus Dur: lebih dari sekadar mantan presiden
Generasi muda tidak mengalami langsung masa kepemimpinan Gus Dur, tetapi warisannya sangat relevan bagi mereka.
Ini terbukti dari keberadaan Gusdurian Network, sebuah gerakan inter-religius yang didirikan oleh putri Gus Dur, Alissa Wahid.
Organisasi ini melibatkan generasi muda dalam aktivisme lintas agama, pluralisme, dan hak asasi manusia.
Sebagai simbol pluralisme dan kebebasan beragama, Gus Dur dihormati sebagai seorang pemimpin yang tidak hanya memperjuangkan keadilan bagi umat Islam, tetapi juga untuk seluruh rakyat Indonesia, termasuk kelompok minoritas.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh KAICIID, Gusdurian Network menjadi wadah bagi anak-anak muda untuk melanjutkan perjuangan Gus Dur, terutama dalam konteks keberagaman dan demokrasi.
Mereka terlibat dalam dialog antaragama, melindungi hak-hak minoritas, dan membela pluralisme di Indonesia.
Peran ini menjadi semakin penting di era modern, di mana ekstremisme agama dan polarisasi sosial semakin kuat.