Lihat ke Halaman Asli

Aidhil Pratama

TERVERIFIKASI

ASN | Narablog

Ironi Hari Tani: Harga Beras Tinggi, Kesejahteraan Petani Terhalangi

Diperbarui: 23 September 2024   19:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi Petani, orang yang pekerjaannya bercocok tanam.(Kompas.com/Retia Kartika Dewi)

Setiap pagi, jutaan orang Indonesia sarapan nasi. Tapi ada ironi di baliknya. Harga beras di Indonesia tertinggi di ASEAN, namun petani kita tetap hidup miskin. Mengapa bisa begitu? 

Petani bekerja keras dari pagi sampai sore, berharap panen besar bisa meningkatkan hidup mereka. Namun, pendapatan rata-rata petani masih di bawah $1 per hari. Ini paradoks: harga beras tinggi, tapi petani tetap miskin. 

Teori Ketergantungan yang dibuat oleh ahli seperti Raul Prebisch dan Andre Gunder Frank pada 1960-an bisa menjelaskan fenomena ini. Teori ini menunjukkan bagaimana struktur ekonomi global membuat negara berkembang, termasuk petani, terjebak dalam kemiskinan. 

Di Indonesia, paradoks ini sangat terasa. Kebijakan pemerintah yang bertujuan untuk meningkatkan produksi pangan sering kali mengabaikan kesejahteraan petani. “Terlalu fokus pada produksi tanpa memperhatikan kesejahteraan petani membuat mereka tetap miskin,” jelas Avi Budi Setiawan (2024) dalam artikelnya. 

Jadi, mengapa hal ini bisa terjadi? Apa solusinya? Dan siapa yang harus bertanggung jawab? Mari kita bahas lebih lanjut. 

1. Mengapa Petani Tetap Miskin Meski Harga Beras Tinggi? 

Ada beberapa alasan utama mengapa petani tetap miskin meskipun harga beras tinggi. 

a. Biaya Produksi yang Tinggi 

Petani harus mengeluarkan biaya besar untuk menanam. Harga pupuk, pestisida, dan sewa lahan terus naik. “Harga gabah naik, tapi tingginya biaya produksi membuat pendapatan petani tidak naik,” kata Syaiful Bahari, pengamat pertanian, seperti dikuti Setiawan (2024). 

Petani sering harus meminjam uang untuk modal, dan saat panen tidak sesuai harapan, mereka terjebak dalam utang. Inilah yang membuat mereka sulit keluar dari kemiskinan. 

b. Kebijakan Pemerintah yang Tidak Mendukung 

Kebijakan pemerintah kadang seperti pisau bermata dua. Di satu sisi, mereka ingin meningkatkan produksi beras nasional. Namun, kebijakan ini tidak selalu menguntungkan petani kecil. 

Misalnya, pembatasan impor beras sering kali justru melemahkan daya saing pertanian lokal. Ini membuat petani kecil sulit bersaing di pasar global. 

c. Rantai Distribusi yang Panjang 

Beras melewati banyak tangan sebelum sampai ke meja makan. Setiap langkah dalam rantai distribusi menambah biaya. Ironisnya, petani sebagai produsen utama justru mendapatkan bagian terkecil dari keuntungan. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline