Sudah 25 tahun lebih kita merayakan reformasi. Tapi rasanya, partai politik kita masih saja seperti anak SD yang baru belajar berjalan.
Terhuyung-huyung, kadang jatuh, lalu bangun lagi. Bedanya, kalau anak SD jatuh, kita masih bisa maklum. Lah ini partai politik, sudah seperempat abad kok masih belum bisa jalan tegak?
Coba kita lihat berita terkini. Menjelang pilkada, bukannya menampilkan kader terbaik hasil gemblengan bertahun-tahun, partai-partai malah sibuk cari "pemain impor".
Kayak klub sepakbola yang nggak percaya sama pemain lokal, eh malah beli pemain asing mahal-mahal. Bedanya, kalau klub bola pakai uang sendiri, lah ini pakai uang rakyat!
Fenomena ini bukan hal baru. Coba ingat-ingat, Presiden Jokowi, Ahok, Ridwan Kamil, Anies Baswedan, sampai Mahfud MD.
Mereka semua awalnya bukan kader partai. Tapi kenapa justru mereka yang jadi pemimpin? Apa partai-partai kita nggak punya "akademi sepakbola" sendiri?
Menurut penelitian terbaru dari Kristiyanto dkk. (2023), jawabannya sederhana: partai politik kita lemah secara kelembagaan.
Istilah kerennya, "institusionalisasi partai politik masih lemah". Maksudnya, partai-partai kita belum punya sistem yang kuat untuk mencetak pemimpin dari dalam.
Data survei dari 2015 sampai 2022 menunjukkan, kepercayaan publik terhadap partai politik selalu rendah. Bahkan paling rendah dibanding lembaga negara lainnya. Ini bukan kabar baik. Bayangkan kalau restoran paling tidak dipercaya di kompleks, mana ada yang mau makan di sana?
Akibatnya apa? Orang malas ikut pemilu. Jumlah golput naik dari 10,21% di pemilu 1999 jadi 29,68% di pemilu 2019. Hampir 30% pemilih memilih untuk tidak memilih. Ironis kan?
Lalu kenapa bisa begini?