Lihat ke Halaman Asli

Aidhil Pratama

ASN | Narablog sejak 2010

Krisis Tersembunyi, Potret Buram Sistem Pendidikan Dokter Spesialis Indonesia

Diperbarui: 30 Agustus 2024   19:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin. (ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra) 

Berita tentang wafatnya dr. Aulia Risma Lestari, mahasiswi Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesi Universitas Diponegoro, telah membuka mata kita semua. 

Bukan hanya tentang beban kerja yang mencapai 84 jam per minggu tanpa kompensasi memadai, tapi juga tentang sistem pendidikan dokter spesialis di Indonesia yang perlu ditinjau ulang. 

Sebagai orang awam yang bekerja di sektor pemerintahan, saya merasa perlu mengangkat isu ini ke permukaan. 

Mari kita mulai dengan pertanyaan sederhana: Mengapa kita kekurangan dokter spesialis? 

Jawabannya ternyata tidak sesederhana pertanyaannya. Menurut penelitian Sari dan Widodo (2023), kekurangan dokter spesialis di Indonesia, terutama di luar Pulau Jawa, berdampak signifikan pada peningkatan waktu tunggu pasien dan penurunan kualitas pelayanan. Bayangkan, Anda sakit parah dan harus menunggu berbulan-bulan hanya untuk bertemu dokter spesialis. Ironis bukan?

Tapi tunggu dulu, masalahnya tidak berhenti di situ. 

Nugroho dan Pramono (2022) menemukan bahwa 78% dokter muda menganggap biaya pendidikan sebagai hambatan utama untuk melanjutkan ke program spesialis. Bahkan, 45% menyatakan kemungkinan tidak akan melanjutkan pendidikan spesialis karena alasan finansial. Jadi, jika Anda berpikir menjadi dokter spesialis itu mudah dan menguntungkan, mungkin Anda perlu berpikir dua kali. 

Lalu, bagaimana dengan sistem pendidikan dokter spesialis kita dibandingkan dengan negara tetangga? 

Wijaya dan Tan (2021) membandingkan sistem di Indonesia, Malaysia, dan Singapura. Hasilnya? Indonesia memiliki beban kerja tertinggi dengan kompensasi terendah. Sementara Singapura memiliki sistem yang lebih seimbang. Mungkin kita perlu belajar dari tetangga, bukan? 

Tapi jangan salah, masalah ini bukan hanya tentang dokter dan rumah sakit. 

Ini tentang kita semua. Pratama dan Suryawati (2024) menemukan korelasi negatif yang signifikan antara ketersediaan dokter spesialis dan indikator kesehatan negatif, seperti angka kematian ibu dan bayi. Artinya, semakin sedikit dokter spesialis, semakin buruk kondisi kesehatan masyarakat. Dan ini terjadi terutama di luar Pulau Jawa. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline