Lihat ke Halaman Asli

Aidhil Pratama

ASN | Narablog

Kepercayaan Publik Sekarat oleh Gaya Hidup Mewah Pejabat

Diperbarui: 29 Agustus 2024   16:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi penumpang pesawat dan jendela pesawat.(Dok. Shutterstock/Natee Meepian)

Gaya hidup mewah keluarga pejabat tinggi negara selalu menjadi sorotan publik, tak terkecuali anak dan menantu Presiden Jokowi. 

Unggahan Erina Gudono, istri Kaesang Pangarep, di media sosial yang menampilkan gaya hidup glamor telah memicu kontroversi dan memunculkan pertanyaan tentang kemungkinan adanya gratifikasi. 

Fenomena ini menyoroti betapa cepatnya masyarakat Indonesia 'naik darah' jika melihat pejabat (dan keluarganya) menampilkan gaya hidup bermewah-mewah.

Menurut penelitian Dema Tesniyadi (2023), persepsi masyarakat terhadap gaya hidup hedonis pejabat pemerintah cenderung negatif dan dapat menurunkan kepercayaan publik[2]. 

Temuan ini menjelaskan mengapa unggahan Erina Gudono begitu cepat memicu reaksi negatif. Masyarakat Indonesia tampaknya memiliki ekspektasi tinggi terhadap kesederhanaan pejabat dan keluarganya, terlepas dari kekayaan pribadi yang mungkin mereka miliki.

Peran media sosial dalam membentuk opini publik terkait gaya hidup pejabat negara juga tidak bisa diremehkan. 

Anang Sujoko (2022) menemukan bahwa media sosial berperan signifikan dalam membentuk dan menyebarkan opini publik tentang gaya hidup pejabat, yang pada gilirannya mempengaruhi diskusi politik di Indonesia[8]. 

Dalam kasus Erina Gudono, unggahan pribadinya di media sosial menjadi bahan julid netizen, menunjukkan bagaimana batas antara kehidupan pribadi dan publik semakin kabur di era digital. 

Yang patut dipertanyakan adalah respon Istana terhadap kontroversi ini. 

Kepala Kantor Komunikasi Presiden, Hasan Nasbi, menyatakan bahwa pihak pemerintah enggan menanggapi pertanyaan perihal gaya hidup Kaesang[7]. Sikap "no comment" ini bertentangan dengan rekomendasi dari studi oleh Deddy Mulyana (2023) yang menekankan pentingnya transparansi informasi dan kecepatan respon dalam menangani krisis kepercayaan publik[3]. 

Strategi komunikasi yang diambil Istana dalam menanggapi kontroversi ini tampaknya kurang efektif. Alih-alih memberikan penjelasan yang transparan, pihak Istana memilih untuk menghindari isu tersebut. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline