Rencana pemerintah untuk membatasi pembelian BBM bersubsidi mulai 1 Oktober 2024 [9] akan memicu perdebatan sengit di kalangan masyarakat Indonesia.
Kebijakan yang diklaim bertujuan untuk menyalurkan subsidi lebih tepat sasaran, berpotensi berdampak luas terhadap berbagai lapisan masyarakat dan sektor ekonomi.
Dampak sosial-ekonomi dari pembatasan pembelian BBM bersubsidi terhadap masyarakat berpenghasilan menengah patut menjadi perhatian utama.
Penelitian yang dilakukan oleh Widiyanti Futri dkk (2022) menunjukkan bahwa kenaikan harga BBM berdampak signifikan terhadap inflasi dan ekonomi makro Indonesia[1]. Meskipun penelitian ini berfokus pada masyarakat kelas bawah, efeknya dapat diperluas ke kelompok kelas menengah yang juga bergantung pada BBM bersubsidi untuk mobilitas sehari-hari.
Studi oleh Putri Irma Yuniarti dan Deni Rusyana (2011) mengungkapkan bahwa pembatasan subsidi BBM untuk kendaraan pribadi hanya meningkatkan pendapatan rumah tangga sebesar 2,14%, dibandingkan dengan 3,39% jika subsidi diberikan secara penuh[2].
Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan pembatasan BBM bersubsidi bisa jadi tidak memberikan dampak positif yang signifikan terhadap pendapatan rumah tangga, bahkan berpotensi menurunkan daya beli masyarakat kelas menengah.
Tantangan dan hambatan dalam pelaksanaan kebijakan ini tidak bisa diabaikan.
Sebuah kajian dari Kementerian Keuangan RI (2015) menyarankan agar diberlakukan subsidi tetap atau proporsional, dengan penyesuaian besaran dan persentase subsidi sesuai dengan harga BBM non-subsidi[4].
Namun, penerapan saran ini akan perlu sistem yang kompleks dan membingungkan masyarakat.
Salah satu tantangan utama adalah memastikan bahwa pembatasan ini benar-benar tepat sasaran.
Pengalaman di masa lalu menunjukkan bahwa kebijakan serupa seringkali menghadapi masalah dalam pelaksanaannya, seperti penyelewengan dan ketidakadilan dalam proses pendistribusian hingga ke lapisan masyarakat bawah.