Lihat ke Halaman Asli

Aidhil Pratama

ASN | Narablog sejak 2010

Antara Pragmatisme dan Idealisme, Koalisi Pilgub Jakarta 2024

Diperbarui: 13 Agustus 2024   16:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi bidak catur sebagai strategi politik. Foto oleh Pixabay dari Pexels.

Dalam lanskap politik Indonesia yang dinamis, Pilgub Jakarta 2024 menjadi salah satu kontestasi paling menarik untuk diamati.

Dengan PDIP yang menantang PKS untuk mengusung Ahok, serta berbagai manuver politik lainnya, pertanyaan yang muncul adalah bagaimana dinamika koalisi partai politik ini akan mempengaruhi kualitas tata kelola pemerintahan daerah Jakarta.

Pertanyaan ini penting karena koalisi politik dapat memiliki dampak signifikan terhadap efektivitas administrasi publik dan kebijakan pembangunan daerah. 

Koalisi Politik: Antara Pragmatisme dan Idealisme 

Koalisi politik sering kali dibentuk atas dasar pragmatisme, di mana partai-partai bergabung untuk mencapai ambang batas pencalonan atau untuk memperkuat posisi tawar mereka.

Dalam konteks Pilgub Jakarta, PDIP dan PKS, meskipun memiliki perbedaan ideologis, mungkin mempertimbangkan kerja sama untuk mengusung calon yang kuat.

Menurut penelitian yang dimuat dalam Jurnal Politica, koalisi pragmatis ini dapat melemahkan fungsi pengawasan dan mengurangi kompetisi ideologis antar partai (Kompas, 2024).

Namun, pragmatisme ini juga dapat menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi, ia memungkinkan partai-partai untuk mencapai tujuan jangka pendek, seperti memenangkan pemilu.

Di sisi lain, ia dapat mengorbankan prinsip-prinsip tata kelola yang baik, seperti transparansi dan akuntabilitas, yang esensial bagi pemerintahan yang efektif (CNN Indonesia, 2024). 

Dampak Koalisi terhadap Tata Kelola Pemerintahan 

Penelitian oleh Lewis dan Hendrawan (2019) menunjukkan bahwa koalisi mayoritas dapat mempengaruhi belanja pemerintah daerah, pelayanan publik, dan tingkat korupsi (ResearchGate, 2019; ScienceDirect, 2019).

Dalam konteks Jakarta, koalisi yang kuat dapat mempercepat implementasi kebijakan dan program pembangunan. Namun, jika tidak dikelola dengan baik, koalisi ini juga dapat membuka peluang bagi praktik korupsi dan inefisiensi.

Sebagai contoh, jika koalisi hanya berfokus pada pembagian kekuasaan dan posisi, tanpa memperhatikan kompetensi dan integritas calon yang diusung, maka kualitas pelayanan publik dapat menurun.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline