Di tepi Sungai Seine yang beriak lembut, sebuah drama kota sedang berlangsung. Bukan drama tentang keagungan sejarah atau romantisme Paris yang selama ini kita kenal, melainkan sebuah pertunjukan protes yang mengejutkan dan, ya, sedikit menjijikkan.
Warga Paris, dalam aksi perlawanan mereka terhadap penyelenggaraan Olimpiade 2024, meluncurkan kampanye hashtag yang mengajak untuk "buang hajat bersama-sama" di sungai yang justru akan menjadi venue utama pesta olahraga dunia tersebut[1].
Mengapa?
Mengapa kota yang dikenal sebagai pusat kebudayaan dan keanggunan Eropa ini tiba-tiba berubah menjadi panggung protes yang begitu vulgar?
Jawabannya terletak pada lapisan-lapisan sejarah dan politik yang telah lama terendap di dasar Sungai Seine, seperti limbah yang kini mengancam kesuksesan Olimpiade.
Ketika Paris diumumkan sebagai tuan rumah Olimpiade 2024 pada tahun 2017, gemuruh tepuk tangan dan sorak-sorai memenuhi udara. Namun, di balik euforia itu, tersembunyi kekhawatiran yang perlahan-lahan menggerogoti antusiasme warga.
Sungai Seine, yang selama ini menjadi saksi bisu perjalanan sejarah Paris, tiba-tiba diproyeksikan sebagai panggung utama Olimpiade.
Bagi pemerintah, ini adalah kesempatan emas untuk menunjukkan kepada dunia bahwa Paris bukan hanya kota dengan masa lalu yang gemilang, tetapi juga kota yang siap menyongsong masa depan. Namun bagi sebagian warga, keputusan ini adalah cermin dari arogansi penguasa yang mengabaikan realitas.
Realitas bahwa Sungai Seine, seperti halnya banyak sungai di kota-kota besar, telah lama menjadi saluran pembuangan limbah kota.
Air yang mengalir di bawah jembatan-jembatan bersejarah itu bukan lagi air yang jernih, melainkan cocktail berbahaya dari limbah rumah tangga dan industri[2].
Ketika hujan turun, sungai ini menjadi lebih kotor lagi, membawa serta segala macam kotoran dari jalanan Paris.