Lihat ke Halaman Asli

Aidha Cahyarani

Mahasiswi Universitas Airlangga

Scurvy: Misteri Kesehatan Tersembunyi di Balik Kekurangan Vitamin C

Diperbarui: 16 Desember 2023   08:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Skorbut atau scurvy adalah suatu kondisi langka yang timbul karena kekurangan vitamin C dalam tubuh. Vitamin C yang tidak dapat diproduksi oleh tubuh, sehingga manusia membutuhkan asupan yang memadai melalui makanan. Peran utama vitamin C terletak pada pembentukan kolagen, protein yang hadir dalam berbagai jaringan tubuh seperti kulit, tulang, dan pembuluh darah. Kekurangan asupan vitamin C dapat menghambat proses pembentukan kolagen, menyebabkan rentan terhadap kerusakan pada jaringan tubuh.

Amiroh (2008: 11) menyebutkan bahwa peran vitamin C melibatkan pembentukan kolagen, pencegahan infeksi, dan mencegah skorbut. Vitamin C memiliki peran dalam menjaga kesehatan tulang rawan, tulang, dan gigi. Selain itu, vitamin ini juga berkontribusi pada pemeliharaan kesehatan jantung dan pembuluh darah, sehingga dapat membantu mencegah risiko serangan jantung dan stroke. Vitamin C juga dikenal meningkatkan daya tahan tubuh terhadap infeksi, mungkin karena merawat membran mukosa atau berpengaruh pada fungsi sistem kekebalan tubuh (Almatsier, 2002). Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 75 Tahun 2013, kebutuhan vitamin C bervariasi, yaitu sekitar 40-50 mg/hari untuk anak-anak, 50-90 mg/hari untuk dewasa, tambahan +10 mg/hari untuk ibu hamil, dan tambahan +25 mg/hari untuk ibu menyusui. Hal ini menegaskan pentingnya memenuhi asupan vitamin C sesuai pedoman untuk mendukung fungsi tubuh dan mencegah masalah kesehatan terkait kekurangan vitamin C.

Ketidakcukupan asupan vitamin C dapat mengakibatkan terjadinya penyakit sariawan atau skorbut. Penyakit skorbut sendiri umumnya tidak sering terjadi pada bayi; jika terjadi pada anak-anak, kejadian ini biasanya terjadi setelah usia 6 bulan dan di bawah usia 12 bulan. Manifestasi gejala skorbut mencakup terjadinya pelembekan cahaya pada jaringan tubuh (Cairns, 2008).

Penyakit sariawan atau skorbut merupakan kondisi yang berkaitan langsung dengan kekurangan vitamin C dalam tubuh. Gejalanya dapat mencakup masalah pada gusi, mulut, dan seringkali melibatkan kulit dan organ tubuh lainnya. Vitamin C memiliki peran kritis dalam sintesis kolagen, suatu protein yang esensial dalam memelihara keutuhan struktural jaringan ikat, termasuk tulang rawan, tulang, dan gigi.

Pada bayi, risiko skorbut umumnya rendah karena biasanya mereka mendapatkan asupan vitamin C dari air susu ibu atau formula bayi yang telah diperkaya. Namun, ketika anak-anak memasuki fase konsumsi makanan padat, terutama jika pilihan makanannya kurang bervariasi dan tidak mencakup sumber yang memadai dari vitamin C, risiko kekurangan nutrisi ini dapat meningkat.

Gejala pelembekan cahaya, seperti yang dijelaskan oleh Cairns (2008), menjadi tanda khas skorbut dan mencerminkan dampak langsung pada keutuhan jaringan tubuh. Oleh karena itu, penting untuk memastikan anak-anak menerima asupan yang memadai dari makanan yang kaya vitamin C, seperti buah-buahan segar dan sayuran, untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan yang optimal dan mencegah masalah kesehatan yang terkait dengan kekurangan vitamin C.

Secara keseluruhan, pengetahuan mendalam tentang peran vitamin C dalam menjaga kesehatan tubuh menjadi kunci utama untuk mencegah masalah kesehatan seperti skorbut. Sebagai suatu kondisi langka, skorbut tetap relevan pada anak-anak yang memasuki fase konsumsi makanan padat. Dengan memahami bahwa vitamin C berperan dalam sintesis kolagen, pencegahan infeksi, dan menjaga kesehatan organ tubuh, terutama jantung dan pembuluh darah, kita dapat mengambil langkah-langkah proaktif untuk memenuhi kebutuhan asupan vitamin C sesuai dengan pedoman kesehatan yang ada.

Referensi:

Amiroh, A. (2018). Pengaruh Lama Penyimpanan Nenas Potong terhadap Berkurangnya Kandungan Vitamin C Yang Dijual Dalam Gerobak Dorong. Jurnal Ilmiah Gizi Kesehatan, 6(1), 11-17.

Almatsier, S. (2002). Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Cairns, D. (2008). Intisari Kimia Farmasi Edisi 2. Jakarta: EGC.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline