Sabtu (9/5) lalu, Kompasiana kembali mengadakan Nangkring Jelajah Non Tunai bersama Bank Indonesia di Hotel Golden Tulip Banjarmasin. Peserta yang hadir pada saat itu kurang lebih 200 orang dengan target peserta 100 kompasianer. Namun yang berhadir tidak hanya kompasianer melainkan mahasiswa Perguruan Tinggi se-kota Banjarmasin. Ini bukti, betapa tema yang diusung menarik untuk disimak lebih lanjut. Maateri yang menarik dan menambah wawasan penggunaan uang eletronik. Terhitung narasumber pada saat itu adalah mereka yang ahli di bidangnya seperti Mas Lestiyanti Medianto, Mas Murtato dan Ibu Irena. Tidak kalah menarik, Mas Iskandar dari Kompasiana menjadi moderator dalam acara nangkring tersebut.
[caption id="attachment_366145" align="aligncenter" width="300" caption="Peserta yang sedang mengantri untuk registrasi (koleksi pribadi)"][/caption]
[caption id="attachment_366146" align="aligncenter" width="300" caption="Kompasianan Nangkring Jelajah Non Tunai (koleksi pribadi)"]
[/caption]
Sebelumnya Bank Indonesia Provinsi Kalimantan Selatan sukses menggelar Gerakan Nasional Non Tunai pada tanggal 25 Agustus 2014 di Perguruan Tinggi Agama IAIN Antasari Banjarmasin atau lebih dikenal less cash society, dihadiri oleh 1.700 mahasiswa baru. Kebetulan saya menyaksikan sendiri betapa meriahnya acara tersebut. Berhubung saya tergabung dalam komunitas Generasi Baru Indonesia (GenBI) yang dibentuk oleh Bank Indonesia yang diikutsertakan membantu kelancaran acara tersebut. Setelah sosialisasi berlalu, para mahasiswa baru diarahkan mengunjungi booth (stand) BRI, BCA dan Mandiri. Booth yang paling ramai dikunjungi adalah BRI. Ini terkait dengan jangkauan BRI yang tersebar sampai kepelosok-pelosok daerah. Berhubung para mahasiswa baru di IAIN Antasari tidak hanya berdomisili di Kota Banjarmasin. Apabila dipikir-pikir memang lebih mudah apabila pengguna telah menjadi nasabah di salah satu bank yang mengeluarkan uang elektronik.
Sebelumnya saya sendiri tidak mengetahui apa itu uang elektronik? Seiring berjalannya waktu, saya mulai mahfum kegunaan uang eletronik dan kategorinya. Ya, uang elektronik atau e-money adalah kartu sejenis debet ATM dan kartu kredit yang berbahan dasar plastik, tidak mudah luntur apalagi kotor. Bedanya, apabila ATM dapat ditunaikan sedangkan uang elektronik memang dikhususkan untuk transaksi non tunai. Top up atau maksimum pengisian uang elektronik sebesar 5 juta apabila pengguna telah teregristasi. Sedangkan yang belum teregristasi, maksimum pengisian 1 juta. Beberapa bank yang mengeluarkan uang elektronik yakni BNI dengan kartu Tapcash BNI, Bank Mandiri dengan kartu e-money Mandiri, BRI dengan kartu Brizzi, Bank Mega dengan kartu Mega Cash, BCA dengan kartu Flazz, dan sebagainya (sumber).
Keuntungan penggunaan transaksi non tunai bagi masyarakat yakni lebih praktis, tercatat dan menghindarkan pengguna dari tindak kriminal. Selain kurang praktis, transaksi secara tunai memberikan peluang bagi oknum tertentu untuk melakukan tindakan pidana korupsi contohnya saja pencucian uang. Kelemahan lainnya, dari segi pemerintah, tentu akan memakan biaya yang tidak sedikit dalam proses produksinya.
Di Indonesia sendiri, penggunaan transaksi non tunai hanya berkisar sekitar 0,06% sehingga dapat dikatakan penggunaan transaksi tersebut masih minim dibanding negara-negara lainnya. Padahal transaksi non tunai memiliki peran menjaga stabilitas nilai rupiah yang akan berdampak pada inflasi, salah satunya menjaga sistem pembayaran. Beberapa paham yang perlu dirubah, pertama, merubah pandangan masyarakat bahwa transaksi non tunai terkesan hanya diperuntukan bagi masyarakat kelas menengah ke atas. Memang tidak salah pandangan demikian, ini terlihat jelas dari mesin EDC (Electronic Data Capture) yang hanya tersedia di Departement Store atau retail besar lainnya. Padahal rata-rata pendapatan perkapita penduduk Indonesia berkisar 3.475 dolar apabila dikurskan kedalam rupiah sebesar Rp. 3.475.000,- per bulan (sumber) yang notabeneya bertransaksi menggunakan uang kartal maupun koin. Kedua, ketakutan masyarakat berurusan dengan perbankan. Inipun tidak salah, karena minimnya lembaga keuangan digital di Indonesia. Padahal Lembaga Keuangan Digital memiliki fungsi membantu masyarakat kecil mengakses layanan keuangan seperti penggunaan sms banking. Bank yang terdaftar sebagai lembaga keuangan digital hanya Bank Syariah Mandiri, BRI, dan BCA. Ketiga, sebagian besar masyarakat Indonesia memandang ‘dompet tebal’ mengukur tingkat ekonomi seseorang. Keempat, Edukasi tidak hanya dilakukan kepada masyarakat saja, melainkan kepada pelaku bisnis karena sebagian besar pelaku bisnis di Indonesia adalah Usaha Mikro Kecil dan Menengah.
[caption id="attachment_366147" align="aligncenter" width="300" caption="google.com"]
[/caption]
Pandangan demikian perlu diluruskan dengan cara edukasi secara bertahap.
Edukasi E-Money Melalui Transaksi Pembayaran SPP Mahasiswa
Saat ini, sosialisasi transaksi non tunai masih belum menyeluruh ke perguruan tinggi seluruh Indonesia. Padahal mahasiswa merupakan segmentasi terbesar setelah masyarakat kelas menengah ke bawah dalam penggunaan transaksi non tunai (less cash society). Sosialisasi dapat dilakukan dengan berbagai cara. Contohnya saja, pembayaran SPP (Sumbangan Pembinaan Pendidikan) yang dilakukan setiap enam bulan sekali. Bank-bank terkait dapat memanfaatkan kesempatan ini dengan cara bekerja sama dengan Perguruan tinggi. Perguruan tinggi terkait dengan leluasa mewajibkan para mahasiswa membayar SPP menggunakan uang elektronik. Ini adalah cara paling sederhana untuk menyadarkan mahasiswa betapa praktisnya penggunaan uang elektronik. Mereka tidak perlu lagi mengantri ke bank untuk menyetor pembayaran SPP. Bank yang megeluarkan uang elektronik hanya perlu menyediakan mesin EDC di area kampus. Tentunya dengan fasilitas-fasilitas yang mendukung lainnya. Secara tidak langsung, transaksi merekat tercatat. Hanya dengan menunjukkan struk pembayaran kepada perguruan tinggi terkait. Mereka dinyatakan telah melunasi pembayaran SPP.
Edukasi Melalui Built In Branding
Hampir tidak dapat dipungkiri, pengguna televisi di Indonesia kian bertambah dari tahun ke tahun. Stasiun televisi di Indonesia berlomba-lomba menampilkan tontonan yang diminati masyarakat tidak terkecuali industri perkilanan. LINE saah satu yang paling gencar mempromosikan fiturnya dengan cara membuat sekuel film Ada Apa Dengan Cinta (AADC) berdurasi 12 menit, iklan tersebut mampu menarik hati para nielsen maupun netizen. Terbukti sekuel film AADC sempat menjadi trending topic di dunia maya pada tahun 2014 silam. Sampai saat ini, jumlah viewer 5.650.801.
Secara keseluruhan kisah yang ditampilkan LINE mengusung konsep built in branding, LINE secara cerdas menyisipkan edukasi tentang fitur anyar LINE, Find Alumni, di dalam mini drama tersebut. Rangga misalnya, mencoba berkomunikasi kembali dengan Cinta melalui LINE di fitur Find Alumni. Ya, sepanjang 12 menit itu pula, LINE dengan “cantiknya” menyisipkan dialog non verbal antara Rangga dan Cinta di fitur Find Alumni (sumber). Setelah sukses dengan sekuel film AADC, LINE tidak kehabisan akal. Mereka membuat kembali kisah romansa Nic and Mar yang menceritakan tentang cinta bersemi kembali di Paris. Konsep ini dapat diterapkan dalam membangun citra perbankan yang mengeluarkan e-money. Ini adalah cara paling efektif yang disukai masyarakat Indonesia khususnya para kaula muda, namun tetap menyelipkan edukasi tentang betapa mudahnya bertransaksi dengan non tunai. Inovasi memang menjadi kunci kesuksesan built in branding suatu iklan.
Edukasi Kepada Pelaku Bisnis
Seperti yang saya katakan sebelumnya. Pelaku bisnis memiliki peranan penting dalam mensukseskan gerakan nasional non tunai karena sebagian besar yang menyumbang pendapatan domestik bruto adalah usaha mikro kecil dan menengah. Sedangkan usaha mikro kecil dan menengah minim akan sarana dan prasarana penggunaan uang elektronik. Malah sebagian besar usaha mikro tidak mengenal apa itu uang eletronik. Disini peran perbankan khususnya Bank Indonesia. Bank Indonesia Provinsi secara berkala mengadakan focus group discussion untuk mengenalkan tata cara penggunaan mesin EDC kepada pelaku usaha mikro kecil dan menengah. Tidak lupa Bank Indonesia bekerja sama dengan perbankan terkait untuk memberikan mesin EDC kepada pelaku bisnis secara gratis. Meskipun berbayar, mereka perlu mendapatkan potongan harga sewa. Bank Indonesia dapat memulai dengan usaha menengah yang notabenenya terdaftar di Dinas Koperasi dan UMKM Provinsi. Dengan begitu, para pelaku usaha menengah dengan mudah dieveluasi setiap tahunnya apakah pengguna uang eletronik meningkat atau tidak.
Edukasi Tentang Akses Layanan Keuangan
Ketakutan masyarakat akan bank, berdampak pada kurangnya minat masyarakat kecil mengakses layanan keuangan. Ketakutan itu didasari oleh tingkat pengetahuan yang rendah tentang seluk beluk perbankan. Mereka lebih memilih cara yang berisiko dalam melakukan transaksi. Hal ini lebih banyak terjadi di daerah perkampungan yang jauh dari akses perbankan. Ironisnya memang, mengapa kita masih berfokus pada pembangunan kota? Penduduk desa pun memiliki hak yang sama layaknya penduduk kota. Salah satunya menikmati jasa perbankan. Dengan cara mengadakan penyuluhan akses layanan keuangan ke desa-desa setempat.
Mereka perlu diarahkan untuk menggunakan akses layanan keuangan yang lebih praktis seperti sms banking dan mobile banking. Tentu, warga desa tidak sedikit yang memiliki handphone untuk berkomunikasi. Mengapa tidak dimanfaatkan? Ketika mereka ingin menabung, menarik uang ataupun mentransfer uang tidak perlu menggunakan jasa kurir. Mereka tinggal mendatangi agen (perpanjangan tangan dari bank) yang telah di utus oleh bank terkait untuk menggunakan fitur layanan pembayaran tagihan listrik, air, pengiriman uang, pembelian pulsa dan sebagainya. Mereka tidak perlu repot datang ke PLN, PDAM, ATM bahkan counter pulsa. Agen sendiri terbagi menjadi dua yakni agen individu dan berbadan hukum seperti minimarket.
Namun, agen individu lebih mampu menjangkau masyarakat. Syaratnya, agen individu hanya perlu memiliki usaha dan cash flow sekitar Rp 1-2 juta. Selain berwirausaha, mereka dapat melayani jasa keuangan bank. Untuk setiap transaksi, pembagian fee diambil dari margin sebesar 70-80% (sumber). Sayangnya, keberadaan agen masih jarang bahkan tida ada di beberapa daerah pedesaan. Selain edukasi, keberadaan agen merupakan kunci penyebaran akses layanan keuangan di tengah warga pedesaan. Meskipun hanya terdapat tiga bank yang terdaftar sebagai Lembaga Keuangan Digital. Tertarik menjadi agen LKD?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H