Di sebuah desa kecil yang terletak di lereng gunung karang , tak jauh dari situ ada sebuah dusun yang jauh dari keramaian bahkan untuk menuju jalan raya pun butuh jarak tempuh kurang lebih 5 km. Disebuah rumah yang mungil disini lah Anjani dan ke 3 suadaranya di besarkan dengan penuh rasa cinta kedua orang tuanya , walaupun kehidupan mereka tak berkecukupan namun mereka selalu bahagia ayah Anjani seorang perwira tinggi namun beliau pensiun dini karena harus mengurus sang istri yang sakit bertahun tahun.
Setiap hari, Anjani pergi ke sekolah di desa tetangga. Meskipun jalan menuju sekolah itu berliku dan berbatu,Anjani selalu bersukacita karena dia tahu bahwa pendidikan adalah satu-satunya jalan baginya untuk meraih mimpi-mimpinya. Dia bercita cita ingin menjadi seorang guru agar dia bisa membantu masyarakat di kampungnya yang tidak bersekolah , karena di kampungnya hanya keluarga Anjani lah yang bersekolah.
Pada suatu hari , ayah Anjani memanggilnya " Anjani , dengarkan ayah " abang mu akan masuk SMA sudah pasti memerlukan biaya banyak ayah sudah tidak bekerja, pensiunan ayah hanya cukup buat makan sama berobat ibu mu,ayah minta ke ikhlasan mu nak agar kamu tidak lanjut ke SMP tahun ini karena abang mu mau lanjut ke SMA" terlihat dari sudut matanya yg berkaca kaca anjani menjawab dengan nada sedih baik ayah jadi tahun depan anjani baru lanjut sekolah yah, betul nak .
Di pagi hari yang cerah , di sebuah batu besar ada tangan tangan mungil yang sedang mencuci baju ditepian sungai, anjani bergumam ya Allah aku hanya bisa berdoa agar aku tahun depan benar benar bisa lanjut sekolah, biarlah saat ini aku menjadi lilin yang terbakar habis, tapi mereka merasakan terangnya aku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H