Umat Islam tak tegak dan kokoh, kecuali atas dasar persatuan dan solidaritas bersama internal dunia Islam dalam menghadapi krisis solidaritas sosial dan menghadap berbagai fenomena sosial saat ini. Saling bahu membahu dalam memikul beban dan tanggungjawab, saling menopang menghadapi krisis dan problematika di dunia Islam. Solidaritas sosial dunia Islam hanya mampu dibangun dalam konsep persatuan dan kepemimpinan yang matang. Nabi Muhammad SAW memberikan contoh pemimpin yang memapu penyatukan seluruh elemen masyarakat Madinah dan menjadikan Kota Madinah sebagai kota yang memiliki tatanan sosial yang baik.
Krisis solidaritas dunia Islam telah berlansung dalam periode tertentu dalam sejarah peradaban Islam, para ulama dan penguasa bersekutu meminggirkan para intelektual dan penguasa Islam yang borjuasi. Untuk menyelesaikan masalah-masalah krisis solidaritas di dunia Islam, seperti otoritarianisme dan ketertinggalan serta mengejar perkembangan Barat, dunia Muslim perlu membangun sistem kompetitif dan meritokrasi. Ini yang membutuhkan reformasi sosioekonomi dan politik mendasar serta politik mendasar dengan dimensi ideologi dan kelembagaan dengan dimensi dan kelembagaan. Maka dunia Islam memerlukan intelektual yang kreatif dan borjuasi independen, yang dapat mengimbanggi kekuasaan otoritas ulama dan negara
Jika turunya wahyu pertama pada 610 masehi sebagai awal kenabian dapat diterima sebagai tonggak dunia Islam di bumi, karier itu berlansung dalam lipatan abad yang sangat panjang. Ini menunjukkan Islam lagi bukan agama sederhana, tapi kompleks sekali. Tafsiran terhadap agama sejak dulu hingga kini sudah berlapis-lapis sehingga dalam menentukan mana yang benar dan keliru menjadi persoalan tidak mudah, kecuali pada orang yang diberikan cara berpikir yang sehat dan tak terbelah dan hati yang tulus tanpa cacat. Sekali pun tak pernah sempurna. Dalam Al-Qur'an pasti membuka diri terhadap orang dengan kualitas prima. Tapi dalam konteks ini manusia dengan segala keterbatasannya.
Dalam sudut pandang relativisme manusia inilah kita harus memahami mengapa telah terjadi peperangan antara kelompok Aisyah binti Abu Bakar (istrinya Nabi Muhammad SAW), yang dipimpin oleh Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair bin Awan yang berhadapan dengan pendukung Khalifah Ali bin Abi Thalib (656-661), sepupu dan menantu. Ini adalah krisis pertama yang berdarah sepanjang sejarah Islam yang dikenal dengan Perang Unta, terjadi 35 H/656 M (Yasmine, 2015). Ini sebuah peristiwa pembunuhan keji atas khalifah. Utsman bin Affan (644-656) yang dilkukan oleh pemberontak Muslim yang menentang kebijakan khalifah yang dianggap tidak adil. Setelah Perang Unta, ada krisis kedua yang lebih dahsyat yang dikenal dengan Perang Shiffin (657) antara pasukan Ali bin Abi Thalib dan Mu'awiyah bin Abi Sufyan, Gubernur Suriah yang diangkat Khalifah Umar bin Khattab (632-644).
Dalam perang saudara ini, ribuan orang tewas dari kedua belah pihak. Ketika pasukan Ali hampir menang, utusannya Abu Musa Al-Asy'ari, ditipu oleh Mu'awiyah Amr bin Ash panglima perang yang menawarkan perang dihentikan dan menempuh jalan damai (tahkim) di Daumatul Jandal sebuah tempat yang terletak antara Damaskus dan Madinah (Nasution, 2021). Kesempatan ini digunakan oleh Amr bin Ash untuk mengantikan Ali dengan menobatkan Muawiyah sebagai khalifah.
Tetapi kekuasaan penuh Muawiyah harus menanti dulu kematian Ali bin Abi Thalib yang ditikam di Masjid Kuffah. Kelompok keras ini kemudian dikenal dalam sejarah sebagai golongan Khawarij, sekelompok orang yang memisahkan diri dari Ali karena menentang tahkim (perjanjian) di Daumatul Jandal. Sejarah kelam di atas mengajarkan pada kita bahwa semua sengketa yang berdarah ini sepenuhnya terjadinya merupakan gejala runtuhnya solidaritas internal antar umat Islam saat itu. Ironisnya perpecahan umat Islam bercorak Arab ini rupanya hingga kini masih diwarisi.
Dari konflik Perang Shiffin ini kemudian berkembang menjadi tiga fraksi besar umat Islam yang tidak pernah berdamai, kelompok Sunni, Syiah, dan Khawarij. Sunni yang muncul sebagai golongan mayoritas merasa selalu berada dalam pihak yang benar dengan menuduh kelompok Syiah dan Khawarij yang salah. Cara pandang seperti ini harus dibuang jauh-jauh dengan menjadikan Al-Qur'an sebagai pendoman dan hakim tertinggi. Kepentingan politik dengan alasan dalih agama. Kelompok Sunni, syiah dan khawarij adalah buah perpecahan dari politik. Perpecahan ini menjadi bukti bahwa solidaritas umat Islam terbelah. (Azra, 2020).
Pembelahan inilah yang telah menghancurkan persaudaraan sejati umat Islam di dunia, termasuk Islam di Indonesia. Jika kita telusuri perjalanan sejarah peradaban Islam dapat diketahui bahwa pernah terjadi kebangkitan peradaban dunia Islam pada abad klasik, khsususnya pada tiga khalifah, yakni Dinasti Abbasiyah di Bagdad, Daulah Umaiyah di Kordoba dan Daulah Fatimiyah di Mesir. (Abdul Hadi, 2021).
Kemajuan ilmu pengetahuan dan peradaban dunia Islam pada saat itu mengalami perkembangan. Dalam seajrah dunia telah mencatat bahwa dunia Islam telah berada pada puncak penting dalam dinamika peradaban dunia. Istilah dalam masa kejayaan dunia Islam (The Islamic Golden Age) terjadi pada abad ke-8 hingga 13 Masehi. Kota-kota Islam saat itu, seperti Baghdad, Damaskus, Alexandaria, dan Kordoba merupakan pusat peradaban dan kebudayaan dunia sebagai tujuan utama belajar mahasiswa dari berbagai penjuru dunia menimba ilmu. Selain itu, lahir banyak ilmuan sains maupun teknologi di masa kejayaan Islam, seperti Ibnu Rusy, Ibnu Khaldun, Al-Idrisi, Ibnu Sina dan tokoh-tokoh lainnya. (Amin, 2021).
Merujuk pada sumber sebagaimana yang dicatat dalam "rahmat Islam bagi alam semesta" diterbitkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, mengatakan bahwa benih-benih kemunduran dunia Islam dan mulai mundurnya terlihat sejak fase kedua periode Islam klasik (1000-1250 M). Kemudian kemunduran drastis dimulai semenjak di periode pertengahan pertama (1250-1500 M). Inilah masa dalam dunia Islam disebut sebagai fase kemunduran pertama (1). Untuk menjelaskan penyebab krisis soldaritas dunia Islam dan kemunduran Islam. Mengutip bapak sosiologi klasik dan ahli sejarah Islam Ibnu Khaldun menjelaskan bahwa kemunduran dalam dunia Islam disebabkan dua faktor antara lain; internal dan eksternal antara lain;
Konteks internal, krisis solidaritas dunia Islam disebabkan para pemimpin yang tak bertanggungjawab, penghianatan yang dilakukan oleh kelompok internal dunia Islam yang mengincar kekuasaan. Selain itu, terjadinya desentralisasi pada pembagian kekuasaan di daerah dan menerapkan pajak berlebihan menjadi kebijakan merata yang dibebankan pada rakyat. (Ahmaet t. Kuru, 2020). Di tambah lagi dengan menguatnya materialisme, yaitu kegemaran penguasa untuk menerapkan gaya hidup bermewah-mewah dan bermegah-megah. Di sisi lain prilaku korup, nepotisme, kolusi, dan dekadensi moral tumbuh subur dibidang pemerintahan.