Marwan Hakim, baru saja dua hari menerima penghargaan bergensi dari PT Astra International sebagai pemuda inspiratif. Lewat pendidikan pria akrab disapa Marwan ini membawa semangat perubahan. Ikhtiarnya mengentaskan buta huruf di kampungnya menjadi inspirasi. Dari kampungnya Aikperapa, Kecamatan Aikmel, Lombok Nusa Tenggara Barat (NTB) memulai kisahnya. Inilah cerita Marwan mantan TKI yang menginpsirasi.
Tepatnya enam tahun lalu, di sebuah obrolan bersama kampung media (sebuah komunitas blogger di Lombok), bertempat di Pendopo Gubernur Nusa Tenggara Barat. Dari perjumpaan ini, saya berjumpa dengan Marwan, waktu itu ia baru saja terpilih sebagai tokoh inspirasi dalam bidang pendidikan. Bersama ratusan warga kampung media yang hadir waktu itu, saya banyak mendengar kisah Marwan. Keterbatasan tak membuat ia patah semangat dan meratapi nasib. Kesulitan ia jadikan motivasi untuk menyalakan harapan bagi anak-anak dikampungnya. Lewat sekolah yang ia dirikan sejak 2002, Marwan mampu menyalakan mimpi anak-anak di kampungnya menembus keterbatasan.
Di ketinggian kaki lereng Rinjani, Marwa jatuh cinta pada kampungnya. Pria ini 41 tahun ini memberikan jiwanya bagi pendidikan di lembah Aikperapa, dan tawa anak-anak bermain bisa dijumpai di sekolahnya Marwan. Marwan hannya seorang lulusan Madrasah Tsanawiyah setingat SMP, namun ia mampu berbuat di atas rata-rata orang yang pernah mengenyam pendidikan tinggi. “Saya sedih melihat anak-anak putus sekolah, nikah usia dini dan sebagian memilih menjadi TKI. Ketiadaan sekolah membuat anak-anak di desa saya tak bisa mengenyam pendidikan, layaknya anak-anak di tempat lain. Saya mulai bangun pesantren untuk mendidik mereka. Kalau bukan kita, siapa lagi yang bisa diharapkan”. Cerita Marwan mengisahkan perjalanan hidupnya mendirikan sekolah.
Seperti nasib anak-anak di kampungnya yang kesulitan ekonomi membuat Marwan tak punya pilihan lain. Demi sesuap nasi ia merantau ke negeri jiran Malaysia. Baginya menjadi TKI adalah jalan pintas mendayung nasib. Di negeri julukan Upin-Ipin ini Marwan bekerja di ladang Felda (Lembaga Kemajuan Tanah Persekutuan), Pahang. Belum genap tiga tahun di tanah rantau ia memilih pulang kampung. Tiba di kampung, Marwan menikah dan memilih bertani di tanah warisan orangtuanya. Selain bertani, tiap malam ia mengajar ngaji anak-anak seumuran tujuh delapan tahun di kampunganya. Sebagian besar mereka tak bersekolah. Menyaksikan kondisi tersebut Marwan bertekad mendirikan sekolah seadanya untuk anak-anak yang belum masuk sekolah ini.
Bekal menimba ilmu agama di pesantren, modal ini dijadikan semangat untuk mengajak anak-anak belajar. Perjuangan Marwan mengajak anak-anak belajar di kampungnya untuk bersekolah tak mudah. Berkali-kali ia membujuk anak-anak di kampunganya untuk mau belajar di teras rumahnya. Tak hannya itu, sulitnya mendapat dukungan dari warga setempat pun dialami Marwan.
Situasi ini, tak membuat semangat Marwan surut. “Saat hendak membangun sekolah, saya pernah dicekal oleh pemerintah desa, waktu itu tidak ada dukungan sama sekali untuk memajukan pendidikan. Apalagi membangun sekolah untuk anak-anak di desa. Namun penolakkan itu tak saya hiraukan, dengan niat tulus mendidik anak-anak di kampung, saya pun bismillah, mulai dengan segala keterbatasan, saya mulai dari mengajar murid berjumlah tiga orang,”. Tutur pria kelahiran Lombok Timur in, sambil mengenang masa silamnya.
Melihat tekad dan kegigihannya, perlahan-lahan Marwan mendapat dukungan dari masyarakat. Dukunga ini membuat ia terus bersemangat untuk menlanjutkan kegiatan belajar mengajarnya dan mendirikan sekolah. Kemauan kuat Marwan membangun pondok pesantren bermula setelah menempuh pendidkan di Pondok Pesantren Darul Falah, Pagutan, Kota Mataram. Pria kelahiran 1980 ini selalu percaya dengan kata bijaksana yang didapatkan waktu menuntut ilmu di pesantren, “Man Jadda Wajada” (Barang siapa yang bersunguh-sungguh, maka Allah SWT akan memudahkan jalan). “Saya percaya dengan kata-kata itu” Ujar Marwan seraya menceritakan masa sulitnya merintis pesantren.
Dengan perjuanga panjang dan segala keterbatasan. Pada tahun 2002, Marwan mendirikan Pondok Pesantren dengan mengunakan uangnya sendiri berjumlah Rp 1, 500 juta. Untuk ruang kelas mengunakan ruang tamu dan teras rumahnya berukuran 35 meter persegi. Ruang itu disulap menjadi ruang belajar dan tempat tinggal sekaligus. Untuk mencari murid pertama, ia sangat kesulitan dengan jumlah murid terbatas, yakni tiga murid saja. Marwan harus bolak-balik antar jemput ketiga muridnya. Dengan jarak tempuh 10 kilometer dari tempatnya. Jalan berlubang, bebatuan dan berdebu ia tempuh untuk menjemput murid. Aktivitas seperti ini, ia jalani selama tiga tahun.“Mulanya saya mendapat tiga siswa, itu pun saya harus berkeliling ke kampung tetangga. Selama belajar tiga murud ini saya jemput dan antar pulang mengunakan sepeda buntut peninggalan orangtua,” Ujar pendiri sekolah satu-satunya di Aikperapa ini.
Impian Marwan tak hannya mendirikan pesantren, namun pria mantan TKI ini memiliki tujuan mulai, yaitu mengembangkan kehidupan dusun Aikperapa dengan landasan pendidikan agama. Setelah belasan tahun berdiri dan ratusan lulusan muridnya, kini anak didik Marwan Marwan sudah ada dua orang menempuh ke jenjang perguruan tinggi. Saat ini pondok ini sudah berada dibawah naungan Kementerian Agama NTB. Ke depan ia bermimpi besar agar sekolahnya tak lagi bergantung pada pemberian bantuan pemerintah, namun mandiri dari usaha yang dikelola pondok pesantren.
Inspirasi Satu Indonesia
Kerja keras Marwan selama puluhan tahun berbuah manis. Pondok Riyadul Falah, desa Aik Prape. Pondok ini resmi dibangun 2002, kini muridnya berjumlah 252 orang terdiri dari Ibtidakiyah, Tsanawiyah dan Aliyah. Untuk lulusan pertama, beberapa sekolah di Kabupaten Lombok Timur meragukan kemampuan Marwan dalam mengajar, karena ia tidak memiliki dasar pendidikan formal setingkat perguruan tinggi. Cibiran ini tak membuat Marwan semangatnya meredup. Kecintaanya pada pendidikan dan anak-anak di kampungnya membuat ia mengindahkan cemohan itu. Ia selalu membuka diri untuk terus belajar ke orang lain.