Singapore, bagi beberapa orang adalah kota dengan setumpuk cerita memikat. Bagi yang lainnya hannyalah kota biasa yang mereka hidup setiap hari. Khsusus buat saya Singapore adalah tempat memenuhi “perjalanan sesaat” sebagai pelawat dan penulis di Kompasiana. Tujuan saya berkunjung ke tempat ini bukan dalam rangka berlibur, melainkan mengikuti konferensi International yang membahas tentang perdamaian di Asia Tenggara. Tentu saja, disela kegiatan serius, terasa tidak lengkap jika saya tidak mencuri waktu untuk pelesir, menyapa masyarakat di Singapore.
Karena panitia tidak menyediakan dukungan finansial untuk tiket, saya wajib berhemat. Panitia hannya menanggung penginapan hostel selama tiga malam. Contohnya untuk tiket saya mengunakan pesawat maskapai Air Asia. Saya tak peduli tiket itu murah, dengan menunggu transit pesawat sampai empat jam di bandara Soekarno, Jakarta.
Walhasil, total waktu perjalanan Jakarta ke Singapore mencapai sekitar 8 jam. Saya tiba di bandara Changgi, Singapore pada 23 Januari 2017 pada pukul 12.00 waktu setempat sedang dalam kondisi sangat kurang tidur selama 1 jam. Badan yang masih letih masih harus berhadapan dengan petugas imigrasi yang bertanya macam-macam (tentang tiket pulang-pergi tujuan kedatangan, tinggal di mana, dan sebagainya), tapi begitu mereka mengetahui saya akan presentasi di konferensi National University of Singapore, mereka meloloskan saya.
Di pintu keluar, saya dijemput seorang panitia. Atas jasa baiknya saya tiba di hostel dan menginap dua malam dikawasan kampus ternama Singapore ini. Perjalanan dari bandara ke kampus National University of Singapore memakan waktu sekitar 49 menit dengan menumpang kereta cepat ke stasiun yang berdekatan dengan NUS. Tiket Rp 30 US (selama 3 hari). Malam pertama saya melewati tanpa cerita, kecuali hingar-bingar kota Singapore.
Di sela pekerjaan menyelesaikan materi presentasi, saya ditawari untuk menikmati teh tarik dan roti canai racikan Melayu asal Malaysia dikawasan sekitarKampung Bugis berdekatan dengan masjid Sultan. Tak perlu menunggu lama, saya pun meng-iyakan ajakan teman Abdul asal Johor Baru, Malaysia itu. Perjalanan kesana bisa ditempuh dengan taksi lokal.
Kawasan ini terkenal sebagai pusat peninggalan sejarah muslim Singpaore. Malam itu berkumpul dan diskusi seraya menyeruput teh tarik hangat, dan roti Canai. Malam itu terasa begitu hangat dan akrab berbagi cerita tentang kampung halaman kami. Teman saya memberi tip jika ingin jalan-jalan ke Singapore dengan transportasi umum, kita perlu membeli tiket berupa kartu tirip kereta. Gerai penjualan tiket terdapat di stasiun dan area-area tertentu.
Kartu itu bisa digunakan untuk naik kereta, trem maupun bus. Kalau wara-wiri di Singapore, selama sehari setidaknya dibutuhkan ongkos 6-7 dolar. Selain itu, kita bisa mengambil buku panduan publik transportasi, ini akan memudahkan menuju perjalanan ke lokasi yang hendak kita lawati. Konferensi yang saya ikuti di Singapore berlansung selama dua hari penuh.
Konferensi tersebut bertempat di kampus National University of Singapore, lokasi acaranya persis di gedung kajian Asia Tenggara. Tema konferensi ini mengurai tentang perdmaian di Asia Tenggara. Ada 40 peserta dan 7 pembicara dari berbagai negara lain Indonesia, Autralia, Spanyol, Amerika, Malaysia, Inggris, Thailand, Filipina, Myanmar dll. Saya salah satu delegasi dari Indonesia, setelah saya ajukan lolos seleksi dan diperkenankan menyampaikan presentasi selama sekitar 20 menit.
Setelah dua malam saya dikawasan kampus NUS, malam ketiga saya pindah ke kawasan sekitar kampung Bugis. Saya menyewa dengan delapan tempat tidur bersama teman yang sudah dipesan sebelum berangkat. Tibalah saatnya hari konferensi. Dari hostel ke kampus ditempuh sekitar 10 menit mengunakan taksi.
Kalau ingin melemaskan kaki, dibutuhkan waktu sekitar 15 menit berjalan ke kampus yang berada satu kompleks dengan NUS itu. Sebagian besar bangunan warisan arsitek Inggris abad ke 19 yang indah. Gedung kuliah terlihat apik dengan bangunan bertengger megah. Topik yang dibawakan oleh para pembicara sangat bervariasi soal isu perdamaian.
Saya sendiri membawakan topic mengenai hubungan pemuda muslim dan agama lain di Nusa Tenggara Barat (NTB) dan lebih luas Indoensia. Topik ini memancing perhatian, komentar dan pertanyaan peserta, karena tidak banyak yang pernah melakukan penelitian konflik dan hubungan antara umat beragama di kota kecil seperti di Lombok. Terlebih ketika saya menyingung bagaimana kondisi kehidupan antar umat beragama di NTB. Bagi peserta hal ini merupakan hal baru, tak banyak yang mereka dengar sebelumnya.