Satu minggu terakhir ini, kita menyaksikan kisah pilu seorang pedagang kaki lima, bu Saeni (53). Ia seorang penjual warung makan asal Serang, Banten, yang menuai simpati jutaan solidaritas netizen. Begitu video yang direkam kompas TV menjadi viral di media sosial. Dalam video ini tergambar, bu Saeni menangis tersedu-sedu ketika gerombolan Satpol PP Serang menyita makanan di warung miliknya.
Makanan, seperti telur dadar, telur rebus, ayam goreng tempe, kikil, usus, sayur nangka, opor ayam dan sayur tahu disita, sehingga mengundang kepanikan bu Saeni. Karena modalnya untuk beli bahan dan memasak makanan tersebut Rp 600 ribu hilang begitu saja. Dia memang berjualan di bulan Ramadhan, dan ada surat edaran dari pemerintah kota Serang perihal kegiatan yang dilarang pada bulan suci Ramadhan tersebut.
Solidaritas voluntarisme netizen menjadi semacam koreksi atas prilaku represif yang dilakukan Satpol PP Kota Serang, dan Pemerintah Kota Serang. Begitu juga dengan halnya dengan Gubernur Banten.Tindakan menyita makanan tentunya merugikan pedagang. Namun apakah langkah seperti ini perlu dilakukan pada bu Saeni seorang pedagang kecil yang mengantungkan hidupnya dari berjualan? Lalu apakah kemudian tindakan bu Saeni berjualan di bulan Suci Ramadhan salah?
Semestinya langkah seperti ini tak perlu dilakukan oleh Satpol PP yang dalam hal ini kaki tangan negara. Ini adalah bentuk arogansi kekuasaan lokal. Penggalangan dana melalui media sosial pun berhasil mengumpulkan Rp 265 juta dengan 2.427 donatur. Satu jumlah yang besar untuk pengumpulan dana singkat.
Kasus di serang itu telah memancing reaksi. Wali kota serang Haerul Jaman yang menilai Satpol PP melakukan kesalahan prosedur ketika mengangkut barang dagangan milik bu Saeni. Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menyebutkan hendaknya setiap kebijakan diambil dengan sikap mengedepankan prinsip saling menghormati. Prinsip saling menghormati memang harus dipegang. Melalui pemberitaan media sosial, kita belum tentu langkah yang diambil Gubernur Banten.
Kisah Bu Saeni menitipkan pesan, mungkin bisa terjadi di daerah lainnya. Kehadiran pemerintah pusat itu penting bahkan amat penting, dalam menyampaikan sinyal kepada daerah lain agar masalah yang sama tidak terjadi. Pemerintah pusat harus berani mengoreksi secara terbuka jika ada tindakan dari pemerintah daerah yang tidak sejalan dengan konstitusi dan dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Langkah utusan Presiden Jokowi menyumbang Rp 10 juta adalah hal positif, tetapi kehadiran Negara dituntut lebih dari itu. Negara harus hadir untuk mengatasi prilaku represif dan cenderung arogan yang dilakukan pemerintah kota.
Bogor, 14 Juni 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H