Lihat ke Halaman Asli

Ahyarros

TERVERIFIKASI

Blogger | Editor book | Pegiat literasi dan Perdamaian |

Kerikil Menuju Eropa

Diperbarui: 22 November 2017   23:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Yasni di Belfast University

Terlihat dari jendela dalam apartemenku. Langit mulai cerah, sinar matahari mulai menyapa belahan utara daratan Eropa. Walau begitu, udara berhembus ke arahku, dinginnya terasa menusuk tulang. Salju berjatuhan melalui celah-celah gedung tinggi, yang tersusun rapi mencakar langit, dengan khas arsitektur Eropa. Seakan, saya tak percaya, bahwa telah menginjakkan kaki di tanah Eropa. Segala kerikil dan ketakutan masa lalu itu, telah aku lintasi, bersama impian bebalku.

Hari ini, 17 September 2015, cuaca di Kota Belfast cukup dingin. Suhu mencapai 6 derajat celcius. Padahal, ini belum musim Winter (musim dingin). Jujur saja, hingga saat ini, saya masih belum percaya bahwa udara dingin ini akhir. Putus asa hampir mematikan impianku untuk memutuskan kuliah ke luar negeri melalui jalur beasiswa Lembaga Dana Penggelola Pendidikan (LPDP).

Tidak mudah bagi seorang anak kampung yang tinggal di pelosok bagian timur, Indonesia. Dengan latar belakang pendidikan pesantren di Pondok Pesantren Nahdatul Wathan (NW) Pancor, Lombok Timur. Hingga punya mimpi untuk melanjutkan studi S2 dengan beasiswa ke belahan bumi Eropa. It seems like an extremely impossible thing.

Memimpikan sesuatu itu memang mudah, namun percaya pada apa, yang kita impikan itulah yang sulit. Terkadang dalam berdoa sekali pun, kita sering tak percaya apakah impian atau cita-cita, yang kita sisipkan dalam doa kita. Kita harus sadar diri bahwa, kita mampu mencapai impian itu. Dan hari ini, saya pun telah membuktikan kekuatan sebuah mimpi. Tapi mimpi itu tak mudah saya dapatkan. Setelah menyelesaikan S1 di Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP), Pancor, Lombok Timur. Perlahan-lahan, saya perjuangkan mimpi itu dengan komitmen dan kerja keras. Mulai belajar sendiri bahasa Inggris, hingga ke kampung Pare, Jawa Timur.

Saya selalu meyakini, bahwa memiliki mimpi tinggi itu tak ada salahnya. Seperti katanya mediang Presiden Soekarno, “Bermimpilah setinggi langit! Karena, jikap engkau terjatuh, maka akan jatuh diantara bintang-bintang!” Ingatanku berputar ke 4 tahun yang lalu. Di mana, saya tak tanggung-tanggung untuk menuliskan nama-nama kampus top dunia dalam daftar cita-citaku. Harvard University, Stanford University, Cambridge University, Oxford University, University College London, dan banyak lagi kampus top berkelas dunia.

Semua nama itu, saya susun rapi di setiap sisi tembok kamarku. Entah bagaimana orang lain berusaha memahaminya. Jika melihat potongan-potongan poster itu. Bagiku itu selalu menjadi pemacu semangat disaat lesu dan patah semangat menghinggapi pikiranku. Ketika semangat mulai kendor, atau bahkan kurang fokus . Gambar-gambar itu selalu berhasil melenturkan yang tak stabil. Semua itu ibarat vitamin yang menyehatkan kondisi tubuhku yang tengah didera lunglai.

Pesan guruku, “Jangan kau simpan impianmu hanya dalam ingatan. Tulislah! Karena ingatan bisa lupa, sementara tulisan tidak!”. Setelah dua tahun lamanya, saya terus merawat mimipi dan semangat itu. Setelah menyelesaikan studi S1, saya mengambil pilihan untuk mendalami bahasa asing (Inggris). Dengan target untuk mengejar beasiswa S2 ke Eropa.

Dari sinilah semua cobaan itu bermula. Akan, saya ceritakan dalam tulisan ini tentang cobaan itu. Berat, bukan karena impian itu sendiri, tapi karena awalnya impian itu tak sepenuhnya didukung oleh orang-orang terdekatku, diragukan oleh keluargaku. Mungkin dianggap terlalu berat, terlalu tinggi. Kuliah ke luar negeri dengan beasiswa bergengsi. Ini adalah hal baru di mata mereka. Hal baru bagi orang-orang di kampungku. 

Namun begitulah, saat mereka memandangku dengan keragu-raguan, saya terus berusaha untuk meyakinkannya bahwa impianku adalah sangat mungkin. Kita boleh berasal dari kampung, tapi impian dan cita-cita kita tak boleh kampungan. Bagiku ini menjadi tantangan terberat untuk harus membuktikan bahwa anggapan mereka atas impianku adalah “Absolutely wrong”.

Karena impianku cukup tinggi, maka untuk mewujudkannya tentu butuh usaha yang tinggi, keringat yang lebih banyak, energi yang lebih banyak, persiapan yang lebih matang, waktu yang lebih lama, biaya yang lebih besar, serta doa yang maksimal pula, serta ketekunan yang sungguh-sungguh. Karena usaha tak pernah membohongi hasil. Saya percaya itu.

Bagiku, cukup sudah sampai S1, saya membebani orang tuaku dengan tagihan-tagihan biaya kuliah. Jika sebelumnya mampu menafkahi mereka, setidaknya saya bisa mengurangi beban mereka (orangtuaku) dengan jalan yang lain. Hingga akhirnya, hanya doa mereka yang saya harapkan untuk terus mengalir kepadaku.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline