Wabah dahsyat virus corona yang melanda dunia ini, menyapu sampai ke sudut-sudut kampus. Ditandai dengan diliburkannya aktivitas di dalam kampus, bukan berarti aktivitas perkuliahan juga diliburkan. Akan tetapi, proses penyelenggaraan pendidikan dilakukan dengan pendekatan yang tepat, guna menahan laju pertumbuhan wabah. Tak disangka, wabah ini sampai merasuk dan menjangkiti pikiran lembaga kemahasiswaan kita. Entah mengapa. Entah bagaimana, keadaan makin meresahkan saja.
Di tengah gegap gempita demokrasi di Indonesia, yang saya tidak tahu sifat dari demokrasi yang diterapkan pada saat ini, karena banyak problem yang saya temui dan juga tidak dapat saya jelaskan pada tulisan ini. Yang pasti, gempita demokrasi yang dirayakan, telah dihimpit oleh tameng kekuasaan. Krisis iklim demokrasi semacam ini, kampus justru digelontarkan dari sikap apatis penguasa lembaga kemahasiswaan. Sebuah stereotipe pesimisme yang ideologis dan tidak dapat dinegasikan dengan ruang dialogis.
Sejumlah kampus di Indonesia telah menerapkan perkuliahan jarak jauh atau kuliah online, untuk mengantisipasi penyebaran corona di lingkungan kampus. Tidak terkecuali IAIN Manado. Dengan diterapkan kuliah online, kendala pun banyak dirasakan. Salah satu kendala dalam kuliah online adalah keterbatasan mahasiswa dalam hal mengakses internet dikarenakan paket internet yang terbilang mahal. Ini merupakan salah satu keluhan mahasiswa yang diekspresikan dengan berbagai cara: ada yang mengeluhkannya lewat media sosial, pamflet berisi tulisan keluhan yang disebarkan, dan lain sebagainya. Keluhan ini kemudian hanya menjadi keluhan, tidak ada tindak lanjut.
Setidaknya, stigma kita tentang Badan Eksekutif Mahasiswa atau Dewan Eksekutif Mahasiswa (BEM atau DEMA) yang melayani dan menyampaikan aspirasi mahasiswa kepada birokrasi kampus, mulai meredup, pada saat banyaknya mahasiswa IAIN Manado mengeluhkan Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang terlalu mahal. Kampus mengembangkan inovasi baru dengan sistem penggolongan UKT berdasarkan latar belakang keluarga dan penghasilan atau pendapatan orang tua, tidak tepat sasaran. Mahalnya jumlah UKT yang harus dibayar mahasiswa pada setiap semester rata-rata Rp 3.000.000,. sampai 5.000.000,. Menuai banyak keluhan karena tidak tepat sasaran.
Pengurus DEMA hingga saat ini belum merealisasikan ruang dengar antara pihak mahasiswa yang mengeluh soal UKT dan pihak kampus, padahal sudah lama dikeluhkan. Klaim atas ketidakhirauan terhadap masalah ini berlipat ganda saat DEMA Syariah bekerja sama dengan DEMA Institut menghelat Festival Syariah dan menghiraukan tanggung jawab yang terhimpun di balik almamaternya.
Stigma di atas kian terus meredup, apalagi ketika wabah corona yang membuat pihak kampus terpaksa menerapkan sistem perkuliahan jarak jauh, yang menuai keluhan dari mahasiswa.
Bagaimana tidak, mahalnya UKT yang dibayar mahasiswa pada setiap semester, sejak menerapkan sistem kuliah online — Kampus tidak memberikan fasilitas semacam paket internet secara gratis, sebagai pengganti fasilitas kampus yang tidak digunakan oleh mahasiswa selama libur dua bulan akibat wabah corona ini. UKT yang awalnya diperuntukan dengan memfasilitasi mahasiswa lewat fasilitas-fasilitas yang ada di kampus, seharusnya dialihkan dengan memfasilitasi kuliah online.
Keluhan ini tidak ada respon dan tindakan dari sang penguasa, Presiden Mahasiswa beserta pengurus Ormawa lainnya. Jabatan yang merupakan representasi dari mahasiswa untuk me-watchdog birokrasi kampus. Kini, mungkin hanya menjadi ajang elektabilitas diri secara pribadi. Lembaga mahasiswa yang seharusnya lebih dari sekedar heroisme di garda terdepan untuk memperhatikan masalah anggotanya, malah mengurung diri tanpa merasa buncah dengan penyampaian keluhan mahasiswa kepada birokrasi kampus.
Keadaan-keadaan semacam itu tentu membuat kita meraup banyak kegelisahan: UKT yang tidak tepat sasaran, digelontarkan dengan sikap apatis oleh penguasa lembaga kemahasiswaan. Kuliah online yang juga tidak difasilitasi oleh kampus dengan memberikan paket internet secara gratis juga didiamkan oleh pengurus DEMA IAIN Manado.
Rupanya, kedekatan antara penguasa lembaga kemahasiswaan dan birokrasi kampus, dimanfaatkan sebagai upaya untuk mengkonstruk peran lembaga kemahasiswaan yang sebenarnya. Kita bisa lihat, afiliasi Presiden Mahasiswa dan birokrasi kampus begitu lekat. Paling tidak, seolah tidak berdaya menerima keadaan. Ormawa-ormawa sebagaimana fungsi dan perannya, tidak hanya mengembangkan minat dan bakat anggotanya dengan menggelar lomba-lomba, dan dengan klaim berprestasi. Tapi juga mampu mempertangungjawbkan jabatan dan tugas kemahasiswaan untuk memberantas ketidakadilan, dan berani bersama-sama dengan mahasiswa untuk menyampaikan aspirasi kepada birokrasi kampus.
Kita sebenarnya mengharapkan Presiden Mahasiswa IAIN Manado, menjelma seperti malaikat yang mengantarkan do'a dari umat manusia kepada Tuhan. Hingga saat ini, harapan itu masih berbentuk harapan.