Lihat ke Halaman Asli

Zakki Ardli Ahsani

Mahasiswa Ilmu Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Menyoal Perkawinan Beda Kewarganegaraan Secara Normatif

Diperbarui: 19 Desember 2021   06:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Oleh : Zakki Ardli Ahsani

Setiap manusia pada dasarnya memiliki sifat ketergantungan satu sama lainnya. Hal ini pun selaras dengan kodrat dan kedudukan manusia sebagai makhluk sosial yang hidup berkelompok dengan manusia lain, tak terkecuali antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang telah mencapai tingkat umur serta kedewasaan tertentu, maka akan mempunyai keinginan untuk hidup bersama dalam suatu rumah tangga. Oleh karena itu, adanya proses perkawinan menurut hukum yang sah dapat menjadi legalitas dari status hubungan kedua orang tersebut.

Pengaruh globalisasi serta kemajuan zaman membuat mobilitas masyarakat semakin tinggi. Hal ini mempunyai konsekuensi logis bahwa aktifitas masyarakat tidak hanya terbatas di dalam negeri saja, melainkan juga di luar negeri. Dalam melakukan aktifitasnya, interaksi yang terjadi antara seseorang WNI dengan seseorang WNA, dengan jenis kelamin yang berbeda, kerapkali sampai pada fase perkawinan, hal yang demikian dapat disebut sebagai suatu perkawinan campuran.

Menurut Pasal 57 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut UU Perkawinan), perkawinan campuran dipahami sebagai perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia. Perkawinan campuran pada dasarnya dapat dikategorikan dalam peristiwa hukum perdata internasional (selanjutnya disebut HPI), karena dalam peristiwa perkawinan campuran terdapat unsur asing/ foreign element, yaitu terdapat dua orang yang mempunyai kewarganegaraan serta tunduk pada hukum yang berbeda.

Pada prinsipnya menurut asas-asas HPI, dalam menghadapi suatu peristiwa hukum yang melibatkan unsur asing yang tunduk pada hukum berbeda, maka harus dipilih salah satu dari kaidah hukum tersebut. Menurut kaidah HPI, penentuan atas yurisdiksi atau hukum mana yang akan digunakan dalam menghadapi suatu peristiwa hukum masuk dalam kategori titik taut sekunder. Dalam peristiwa perkawinan campuran, secara normatif aturan hukum Indonesia merujuk pada Pasal 56 UU Perkawinan, yang menyebutkan bahwa perkawinan yang dilangsungkan diluar Indonesia antara dua orang warganegara Indonesia atau seorang warganegara Indonesia dengan warganegara Asing adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara dimana perkawinan itu dilangsungkan dan bagi warganegara Indonesia tidak melanggar ketentuan-ketentuan Undang-undang ini. UU Perkawinan ini menentukan tempat dari dilaksanakannya perkawinan, yang kemudian dapat disebut dengan titik taut sekunder dari peristiwia perkawinan campuran.

Pasal tersebut selaras dengan doktrin HPI yang disebut dengan lex loci celebrationis atau lex loci solutionis yang bermakna bahwa keabsahan perkawinan hendaknya ditetapkan berdasarkan kaidah hukum dari tempat di mana perkawinan dilaksanakan. Hal itu berarti dimanapun perkawinan beda kewarganegaraan itu dilangsungkan, perkawinan tersebut tetap dianggap terpenuhi keabsahannya. Yang terpenting adalah proses daripada perkawinan tersebut telah sesuai dan tidak melanggar ketentuan-ketentuan perkawinan yang ada.

Persoalan yang timbul selanjutnya sebagai konsekuensi dari perkawinan campuran adalah hukum manakah yang harus diperlukan dan digunakan terhadap status personal seseorang sehubungan dengan masih dalam lingkup peristiwa HPI. Di dalam HPI, terdapat prinsip personalitas yang mempunyai makna bahwa penentuan status personil seseorang, baik WNI maupun WNA dimanapun berada, ditentukan oleh hukum nasionalnya masing-masing. Hal itu diperkuat dengan asas umum HPI Indonesia yang didasarkan atas Pasal 16 Algemene Bepalingen (AB). Pasal tersebut menyebutkan bahwa bagi WNI, peraturan perundang-undangan yang mengenai status dan wewenang seseorang tetap berlaku terhadap mereka dimanapun berada. Artinya untuk menentukan apakah seseorang cakap bertindak dalam melakukan suatu perbuatan hukum, maka ukurannya adalah kaidah hukum tempat orang itu berasal.

Berkaitan dengan peristiwa hukum perkawinan campuran, status personal pada prinsipnya disebutkan juga dalam Pasal 56 UU Perkawinan yang telah dijelaskan sebelumnya. Pasal tersebut menegaskan bahwa sekalipun perkawinan dilangsungkan menurut hukum asing, maka persyaratan materiil untuk WNI dalam perkawinan campuran harus tunduk pada hukum Indonesia, dalam hal ini UU Perkawinan. Hal  yang demikian dalam doktrin HPI dimaknai dengan suatu peristiwa hukum yang didasarkan atas Lex patriae yang berarti status personal seseorang ditetapkan berdasarkan hukum kewarganegaraan orang itu. Dengan demikian, sebelum melaksanakan perkawinan campuran berdasarkan hukum asing, seorang WNI haruslah terlebih dahulu memenuhi persyaratan materil, diantaranya telah cakap hukum dan memenuhi prosedural, dalam norma hukum perkawinan Indonesia, yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Perlu ditegaskan bahwa menurut Pasal 60 UU Perkawinan menyatakan bahwa perkawinan campuran tidak dapat dilangsungkan sebelum terbukti bahwa syarat-syarat perkawinan yang ditentukan oleh hukum yang berlaku bagi pihak masing-masing telah dipenuhi. Hal tersebut menandakan bahwa status personal dalam kaidah HPI yang berdasar atas undang-undang nasional masing-masing,  haruslah terpenuhi keduanya dan dibuktikan dengan surat keterangan oleh instansi pencatat yang berwenang.  Apabila telah terpenuhi, maka perkawinan campuran dapat dilangsungkan dan mendapatkan legitimasi hukum atas perkawinannya.

Dengan demikian, perkawinan beda kewarganegaraan atau perkawinan campuran adalah sah menurut undang-undang yang berlaku pada negara hukum Indonesia. Oleh karena itu, masyarakat Indonesia yang hendak melaksanakan perkawinan dengan WNA, dengan kata lain akan melangsungkan perkawinan campuran, harus memperhatikan aturan-aturan serta prosedural sesuai dengan UU Perkawinan yang berlaku di Indonesia.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline