Lihat ke Halaman Asli

Ahsani Fatchur Rahman

Guru di Pesantren

Drop Out

Diperbarui: 21 Maret 2021   05:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Saya pernah kuliah, tapi tidak pernah lulus, saya pernah belajar di kampus tapi tidak pernah wisuda, saya gagal lulus dari kampus, tapi saya tidak ingin gagal dalam mengabdi untuk keluarga, agama, masyarakat, dan bangsa. Saya pernah merasakan pahitnya drop out (DO) dari kampus, dan saya sama sekali tidak menyesal. Saya tidak ingin memengaruhi siapapun untuk cara seperti ini, ini bukan hal yang baik. Biar aku saja, hahaha.

Namun mengapa saya bangga dengan DO? Karena selama saya belajar di kampus saya tergolong mahasiswa yang tidak layak disebut mahasiswa, tidak layak untuk lulus, tidak layak memiliki gelar sarjana, tak layak sebagai civitas akademi, tak rajin belajar, membaca, dan diskusi. Dan akhirnya saya malu jika menjadi sarjana bodoh, sarjana pengangguran, sarjana ijazah, sarjana tak mengerti tentang jurusannya.

Ketika itu saya sudah lelah atas kepura-puraan dengan topeng birokrasi pendidikan. Dan mengecewakan cita-cita orang tua agar saya memiliki gelar sarjana. Saat itu banyak cacian dari teman-teman atas prestasi DO saya, dibully saat wisuda, dan tak jarang sindiran halus menghujam dihati. Namun, saya tetap atas pendirian saya, saya siap menanggung segala resiko. Selalu saya tanamkan bahwa masa depan dan kesuksesan bukan karena ijazah dan gelar, tetapi karena niat diri dan perjuangan panjang.

Tak terasa hari ini adalah 4 tahun lalu saya DO dari universitas unggulan dan impian saya dahulu. Meski tak lulus yang penting pernah kuliah disini dengan segala kenangan dan perjalanannya. Hari ini saya mendapatkan hadiah luar biasa bagi saya dari almamater 'the learning University' tepat di kelas saya belajar dulu yang kini menjadi gedung rektorat. Hal yang tak pernah terbayangkan. Mengingat dulu saat ospek begitu banyak bayangan harapan setelah kuliah, cita-cita setinggi-tingginya, dan lulus dengan baik.

Dan benar, tentang masa depan siapa yang tahu, tentang DO siapa yang mau, masa lalu dan sekarang sama sekali berbeda. Namun satu hal yang masih membekas, bahwa belajar itu dimanapun, kompetisi itu siapapun, berjuang atas nama kemanusiaan dan keilmuan, dan tanpa memandang gelar atau status bahwa semua harus dihargai, dan semua boleh belajar setinggi-tingginya.

Ada salah satu sahabat saya yang bertanya, "lha lantas kamu kalau kuliah tidak mencari lulus dan tidak mencari ijazah lantas kamu mencari apa?" lantas saya jawab "saya mencari hikmahnya saja, hahaha", bahwa selalu ada alasan.

Maka ketika kita kembali pada masyarakat, tidak ditanya apa gelarmu, tapi ditanya apa karyamu?, apa prestasimu? apa perjuanganmu? Apa dedikasimu? Apa tujuan hidupmu? Tidak sekedar hidup, tapi menghidupi dan tidak sekedar gerak tapi menggerakkan. Wallahua'lam.

Warm Regard,

Ahsani F Rahman

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline