Masih menjadi sesuatu yang fenomenal ketika membaca suatu masterpice dari catatan kebudayaan yang sampai saat ini masih ada yang mengaplikasikannya di beberapa tempat.
Seperti halnya catatan Suluk Tambangraras atau lebih familiar dengan sebutan Serat Centhini yang ditulis pada Januari 1814 dan rampung pada tahun 1823 masih menyisakan sebuah kenangan atas filantropi etika dan estetika masyarakat Jawa pada masa itu.Serat Centhini yang terdiri 12 jilid ini dituturkan kembali oleh Agus Wahyudi dan totalnya terdiri dari 4.200 halaman dan sampai kepada pembaca, terima kasih.
Akan tetapi yang lebih penting dari pada 8 rim kertas dalam mencetak buku tersebut adalah apa yang menjadi isi dari buku tersebut, terutama mengenai kearifan lokal (local wisdom) hingga banyaknya pengetahuan masyarakat Jawa yang tertulis dalam naskah tersebut.
Mengenai. Menyambung pada jilid 1 (satu) dari buku tersebut maka pada jilid 2 ini bercerita tentang tokoh yang bernama Cebolang selama masa pengembaraannya di pulau Jawa, khususnya Jawa Tengah dan Jawa Timur sebab ia merupakan seorang haus akan pengetahuan, baik yang bersifat praksis maupun teoritis.
Pada Serat Centhini jilid 2 terdiri dari 36 bagian dan pada setengah bagian menuju akhirnya lebih banyak menuliskan mengenai kisah, sebab pada scena tersebut cebolang tengah menghadapi masa kegalauan sebab ia dengan serta menikah dengan 4 perempuan sekaligus yang merupakan murid dari Syekh Wakidiyat yang tidak lama kemudian ia meninggalkan keempat perempuan tersebut dengan hal ikhwal melanjutakn pengembaraan dengan keempat santri setianya.
Dan pada jilid 2 ini arah pembahasannya lebih terkonsentrasi pada soal pernikahan, sampai-sampai ilmu olah asmara kembali dijumpai pada bagian-bagian tertentu yang tidak luput pula ilmu petung yang menjadi 'icon' Serat Centhini seperti halnya pada jilid pertamanya.
Tak ketinggalan pula pada bagian ke-18 yang menceritakan tentang Tanda-tanda Alam yang di ceritakan oleh Ki Juru mengenai tanda alam yang dibawa oleh gerhana matahari, gerhana bulan, 'teja' (pelangi pagi), bintang berekor, dan pula gempa bumi.
Kemudian indikator alam tersebut dikorelasikan dengan bulan-bulan di tahun hijriyah. Dan ini yang membuat Serat Centhini menyandang gelar Ensiklopedi Jawa.
Dalam pembahasannya, hal yang pernah viral tempo dulu mengenai 'sesajen' atau sesaji juga terdapat di dalamnya, sebagaimana dalam ritus seperti pernikahan juga dalam tanda alam yang musykil seperti bila terjadi gempa bumi pada waktu Isya dan kejadian tersebut terjadi pada bulan Safar maka masyarakat Jawa pada masa itu memakai kain putih yang suci dan bersih, tidak diperbolehkan mengucapkan kata yang tidak bermanfaat atau bahkan kotor, menguatkan hati, menjauhkan diri dari mengkonsumsi barang yang tidak halal dan kemudian beresedekah dengan nasi uduk, daging ayam yang berbulu hitam putih yang ditambah dengan membaca doa qunut sebagai penolak bala'.
Pada khazanah kebudayaan Jawa, saat ini, hal-hal tersebut mungkin terbilang langka dan yang mafhum kita jumpai saat terjadinya sebuah bencana seperti angin puting beliung adalah banyaknya masyarakat yang melakukan adzan sebagai simbol atas meminta pertolongan kepada pemilik semesta.
Bertolak dari representatif sebuah bencana, pesta syukuran begitu sering dilakukan oleh masyarakat juga sebagai bentuk rasa syukur atas pemberian dari yang maha kuasa. Pun dalam Serat Centhini yang menuliskan bagaimana hangatnya masyarakat Jawa kala itu melakukan ritus keagamaan seperti melakukan ritual pemujaan terhadap dewa maupun mengekspresikan rasa syukurnya dengan cara bersedekah.