Lihat ke Halaman Asli

Ahonk bae

Menulis Untuk Perdaban

Adu Domba dalam Kontestasi Pemilihan "Kuwu"

Diperbarui: 30 Maret 2021   10:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tari topeng Kelana

Pesta perebutan kekuasaan dimanapun dan bagaimanapun bentuknya tetap tidak bisa di elakkan dari sebuah strategi dan strategi yang paling sering digunakan dalam hal ini ialah politik adu domba atau divide et impera, ia merupakan kombinasi strategi politik, militer, dan ekonomi.  

Gaya berpolitik ini bertujuan mendapatkan serta menjaga kekuasaan dengan cara memecah kelompok besar menjadi kelompok-kelompok kecil yang lebih mudah ditaklukkan. Dalam konteks lain, politik pecah belah juga berarti mencegah kelompok-kelompok kecil untuk bersatu menjadi sebuah kelompok besar yang lebih kuat. Dalam kilasan sejarahnya, seperti yang dikatakan Saptamanji (2013), politik adu domba merupakan strategi perang yang diterapkan oleh bangsa-bangsa kolonialis mulai pada abad 15 (Spanyol, Portugis, Belanda, Inggris, Prancis). Bangsa-bangsa tersebut melakukan ekspansi dan penaklukan untuk mencari sumber-sumber kekayaan alam, terutama di wilayah tropis. Seiring dengan waktu, metode penaklukan mereka mengalami perkembangan, sehingga politik pecah belah tidak lagi sekadar sebagai strategi perang namun lebih menjadi strategi politik.

Kemudian jika gaya politik ini diadopsi desa, dalam konetstasi Pemilihan Kuwu (selanjutnya pilwu) seperti apa? apakah akan menjadikan masyarakat yang terpecah juga atau malah semacam kontra-kultura sebab kekuatan yang dalam nilai kebersamaan yang telah di bangun sejak sedemikian lama tidak mudah runtuh begitu saja, dan sudah barang tentu jawabannya variatif.

Pada saat pilwu berlangsung, terutama sekali pada kurun waktu kiwari, media sosial menjadi senjata ampuh dalam melakukan agitasi hingga hegemoni dalam mendulang massa, memperkeruh suasana serta memecah belah sebuah tatanan masyarakat yang telah terbangung sejak sedemikian lamanya.

Jika politik ini diterapkan pada konteks pilwu maka skema adu domba yang terbangun ialah mengadu antar Rw, Rt, Kelompok, Pemuda, antar keluarga bahkan dalam satu keluarga yang memang rentan terhadap kesadaran politik yang terlanjur terdikotomikan. Sehingga dalam pilwu yang ruang lingkup serta atmosfirnya lebih terasa daripada kontestasi-kontestasi lainnya akan berimpack pada citra desa itu sendiri dengan mengingat bahwa desa saat ini sedang menjadi target pasar dalam skala globalnya. 

Oleh sebabnya desa tidak melulu soal keramahan serta adi luhung nilai-nilai tradisionalisnya, sebab desa telah bersolek sedari tataran grossroot-nya.

Desa dengan sarat kepentingan politisi dalam mendompleng kontestasi pilwu tersebut tak ayal berubah menjadi kontestasi yang mencekam, dan masyarakat yang menghendaki perubahan desanya harus mengubur impian tersebut dalam-dalam. Pada aset vital desa yang rata-rata dari sektor agrari atau juga bahari juga telah di lirik oleh politisi kawakan yang berdekap mesra dengan investor dalam mengeruk desa dalam jumlah besar dan jelas, memiskinkan penduduk desa tersebut.  

Melalui kontestasi pilwu maka politisi pun ikut berbondong-bondong menjadi investor atasnya, kemudian cara-cara massif tak luput dari strategi pemenangan yang di agendagak setiap masing-masing calon, dari mempromosikan program hingga mengadopsi program. Kemudian politik adu domba adalah varian yang yang tidak lepas, not-move, dari cara mendulang kemenangan tersebut. Dampaknya jelas, sesama keluarga tidak lagi seharmonis dulu bahkan, saling adu mulut dalam membela kandidatnya.

Media sosial adalah sarana efektif dalam membuat isu, agitasi hingga hegemoni dalam membuat framing, citra bahkan nestapa sekalipun. Hari ini penduduk desa telah juga beradaptasi dengan media sosial tersebut, Facebook terutama sekali merupakan sarana yang sering di gunakan masyarakat desa dalam melakukan hal-hal di atas. Instagram atau Twitter memang juga media sosial yang mudah di akses namun lagi-lagi keterbatasan SDM di desa masih nyaman dan puas hanya di wilayah Facebook tersebut dalam melancarkan aksinya - adu domba. Lebih miris, ibu-ibu dan bapak-bapak yang melakukan hal ini sehingga segala sesuatu tidak lepas dari bidikan kamera lalu up load, konten hoax atau berbahaya adalah hal tak terlalu di perdulikan apalagi dampaknya. Lantas pemudanya?  Tik-tok, Instagram dan Twitter saat ini juga sudah menggandrungi pemuda desa sehingga kanal Facebook tidak terlalu di lirik. Maka bisa dikatakan generasi tua menjadi sesuatu yang riskan ketika di sandingkan dengan sosial media.

Adu domba memang bukan sesuatu yang baru dalam sebuah kontestasi, meski pun sangat berbahaya namun itu sering menjadi sesuatu yang lumrah. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline