Atas persetujuan orangtua, menjelang baliq aku menuntut ilmu di pondok. Keputusan yang tidak ringan, mengingat aku harus berpisah dengan keluarga. Tahun pertama, menjadi tahun cukup berat. Menghadapi teman-teman, dengan karakter berbeda-beda. Menyesuaikan kehidupan pondok, yang jauh berbeda dengan suasana di rumah.
Apalagi di masa peralihan (anak menuju puber), tentunya ada hal-hal baru yang kualami. Tetapi tekadku membulat, apapun tantangan yang ada musti dihadapi.
Tanpa terasa, tahun ini masuk tahun keempat di pondok. Aneka macam persoalan kuhadapi, mengantarkan pengalaman dan pemahaman baru. Ayah dan ibu, menjadi tempat curhat terbaiku. Kepada mereka, masing-masing mendapat jatah topik obrolan berbeda.
Merajuk judul di atas, tulisan ini focus ke ayah. Orang yang tepat untukku berkeluh kesah, guna membangkitkan semangat yang sering naik turun. Ayah dengan pengalaman hidup, lebih panjang dan beragam dibandingkan aku. Aku meyakini, apa yang kurasakan pernah ayah rasakan. Meski masalahnya berbeda, meski situasinya berbeda.
Sehingga aku bisa memetik hikmah, sekaligus mencontoh cara ayah menyelesaikan masalah. Entah berhasil atau tidak mengatasi persoalan, nyatanya beliau bisa bertahan sejauh ini.
-----
"Setiap tahap usia akan ada masalahnya sendiri-sendiri," ujar ayah
Banyak kisah hidup ayah yang kudengar, satu diantaranya adalah pertemuan beliau dengan ibu. Pertemuan yang diperantarai seorang teman, karena minim pengalaman pacaran. Tetapi untuk sampai tahap itu, ayah telah menempuh ujian kesabaran. Konon, di usia ayah yang lewat seperempat abad. Tekanan dialami dari kanan kiri, dari orang terdekat maupun sekedar kenal.
Orang-orang mulai mempermasalahkan kesendiriannya, disampaikan dengan kalimat halus, menyindir, bahkan terang-terangan. Dan apapun rangkaian kalimat itu, tak ayal kerap membuat merah telinga.