Lihat ke Halaman Asli

Kesenian dan Masalah Kemiskinan

Diperbarui: 2 April 2018   00:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto: Istimewa

Pada suatu malam yang saya lupa hari dan tanggalnya, seniman ortodox yang kerap disapa Mambo meniup suling bambu di atas panggung papan yang kira-kira berukuran 30 meter. Panggung itu berdiri di atas batang-batang pohon kelapa yang ditancapkan ke dalam tanah hingga meninggalkan bekas seperti hewan-hewan mamalia yang baru selesai beranak-pinak. Selain seniman, Mambo adalah aktivis lingkungan  yang seringkali menanam pohon kecil ketika permukaan air laut mulai surut. Dia pernah melukis  nada G di dinding teras rumahnya yang membentuk identitas dirinya sebagai seorang seniman garis keras. 

Pada malam yang saya lupa hari dan tanggalnya itu adalah sebuah perayaan  festival kesenian Islam.  Malam itu Mambo yang mengenakan kemeja dan celana hitam-kecoklatan meniupkan nada-nada minor dengan suara seperti burung-burung bersiul di suatu pagi. Di malam itu pula, pertama kali saya mendengar musik eksperimen etnik yang dikemudian hari saya menjadi tahu dan suka.  Suara-suara itu adalah manifesto suku Bati yang salah satu sajaknya berbunyi: kapal Cina ratan loka e.. Cina rei Bati! Namun sayang, pesta malam itu harus bubar, akibat hujan, angin, petir dan kilat yang menyambar pohon-pohon beringin dan jamban-jamban kayu.

Meski perayaan bubar, kita seharusnya berterima kasih kepada Mambo, termasuk orang-orang Bati itu sendiri. Mambolah yang membawa sajak-sajak Esuriun ke ruang publik sehingga identitas mereka ditafsir, bahkan oleh anak kecil ingusan seperti saya kala itu: mencoba untuk membuat interpretasi. 

Menurut saya, Mambo sedari dulu telah memberi sinyal kepada kita untuk bertukar pikir soal Bati, sayangnynya, sekolah-sekolah kita tidak melihat itu sebagai sebuah elemen penting dalam pendidikan sejarah kita. Tak ada pelajaran di sekolah tentang Esuriun, Amesekaru, dll.  Alih-alih  cerita tentang Eseriun, kita malah disodorkan dengan pendidikan bergaya Orba yang diperparah dengan propaganda televisi nasional yang menciptakan imajinasi kita tentang indahnya hidup di Jakarta. Nyatanya, televisi-televisi itu hanya menjual ilusi di tengah kemiskinan yang akut.

Diskursus Bati yang dikemukan Mambo dalam sajak itu, paling tidak memberikan dua poin positif  kepada  anak muda waktu itu, pertama memberi pengetahun tentang bahasa Bati, kedua memicu rasa ingin tahu (curiosity) tentang kehidupan orang-orang Bati. Menurut saya, ini adalah periode di mana identitas Esuriun harus  ditafsir ulang dan Mambo sebenarnya telah berusaha melakukan tafsiran itu melalui musik dan sajak yang dia buat. Sayangnya, pemerintah lamban menangkap idealisme ini. Desentralisasi yang terjadi pasca runtuhnya rezim Orba, bahkan tidak memberi sinyal betapa penting memelihara sebuah identitas-kultural. Dampaknya adalah seperti keadaan akhir-akhir ini: sebuah protes sosial. 

Kapitalisme Televisi

Kapitalisme akhirnya menyantap suku Bati sebagai bahan jualan. Tuntutan kerja tinggi dan tekanan tuan pemilik modal memaksa televisi membuat sensasi yang mudah dijual di pasaran. Kesalahan terbesar Trans Tujuh adalah tidak mengikutsertakan objek yang diliput sebagai nara sumber. Tidak menghadirkan perbandingan dan hanya menyajikan cerita-cerita kontroversial belaka. Inilah era konglomerasi media, di mana para pemilik modal telah mensubordinasikan jurnalisme ke dalam kepentingan komersial. Leonard Downie JR dan Robert G Kaiser menyebut kasus seperti ini sebagai Bad Journalism karena pemberitaan yang dangkal, tidak lengkap dan tidak akurat (cover both sides).  

Kendati demikian, kasus ini sekaligus menjadi otokritik bagi pemerintah daerah, pemerintah seharusnya mulai melihat Bati sebagai elemen penting dalam konteks sejarah-budaya. Literatur mengenai Bati dan seluruh kerajaan-kerajaan kecil di SBT sudah saatnya ditelaah kembali dan dipublikasi ke dalam sebuah arsip daerah. Ini untuk mengantisipasi terjadi kesalahan tafsir dengan data yang minim atau tidak kredibel dikemudian hari. 

Problem Ekonomi Politik

Modal yang tidak bergerak cepat ke pedalaman suku Bati menjadi faktor utama masyarakat Bati cenderung mengisolasikan diri. Modal yang saya maksud adalah bantuan pemerintah kepada masyarakat Esuriun untuk melakukan aktivitas ekonomi secara mandiri. Perkembangan demokrasi melalui pemilihan kepala daerah bahkan tidak memberi ruang terkait isu-isu mendasar seperti ekonomi, pendidikan, infrastruktur sehingga kontestasi politik hanyalah ajang pragmatisme (seeking profit). Sirkulasi modal yang lamban akhirnya tidak mampu menciptakan permintaan efektif. Dalam teori ekonomi Malthus, permintaan efektif dan kurangnya konsumsi merupakan problem utama sebuah masyarakat menjadi terbelakang. Pemerintah daerah dalam konteks ini, harus mampu memaksimalkan produksi melalui industri pertanian maupun perikanan yang tersedia wilayah SBT (Seram Bagian Timur).  Problem selanjutnya adalah pemerintah harus pintar-pintar menciptakan investasi melalui sektor swasta. Ini bukan berarti pemerintah lepas tangan terhadap segala aktivas ekonomi. Pemerintah tetap menjadi lokomotif agar konsolidasi ekonomi tetap berjalan sesuai perundingan. Investasi tidak hanya menciptakan lapangan pekerjaan, tetapi akan menciptakan kesadaran kelas yang baru termasuk kesadaran mengenai sejarah dan budaya masyarakat.  

Bati sebagai Korban Politik

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline