Lihat ke Halaman Asli

Ahmed Tsar Blenzinky

TERVERIFIKASI

Blogger | Content Creator | Sagitarius

Bahtera Nuh itu Telah Penuh

Diperbarui: 26 Juni 2015   13:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

[caption id="attachment_241998" align="alignleft" width="224" caption="sumber : http://www.kompasiana.com/wijayalabs"][/caption]

Mengikuti Kompasiana Modis (Monthly Discussion) kemarin Jum’at (27 Agustus 2010), bagi saya bagai menyaksikan diorama pemberangkatan bahtera Nabi Nuh. Bagi umat beragama samawi, mungkin tahu bagaimana cerita Nabi Nuh dalam menyelamatkan umat yang beriman dari sapuan banjir besar. Kurang lebih, pada saat hari pemberangkatan, berduyun-duyunlah seluruh manusia yang percaya akan datangnya musibah dahsyat menuju geladak dan lambung kapal. Tidak hanya manusia, para hewan yang berpasangan pun diikutsertakan dalam rombongan tersebut. Ketika itu, ada segerombolan manusia yang tidak mau ikut. Bahkan mereka mengolok-olok Nabi Nuh. Akhir cerita, terjadilah banjir besar itu.

Pengandaian cerita penyelamatan Nabi Nuh ternyata terulang kembali di Hotel Santika (tempat diadakannya acara Kompasiana Modis ke-5). Kali ini kapal penyelamat Nabi Nuh itu bernama, yaitu “Bahtera Pendidikan”. Namun, dalam cerita kali ini cakupannya tidak menyelamatkan umat seluruh dunia, melainkan cukup warga negara Indonesia. Tokoh Nabi Nuh diperankan cukup bagus oleh Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas), Muhammad Nuh. Inilah gambaran singkat cerita penyelamatan Nabi Nuh.

Tidak happy ending. Ya begitulah kesimpulan saya ketika selesai menyaksikan cerita penyelamatan Nabi Nuh. Cerita diawali dengan pemaparan Muhammad Nuh tentang apa dan bagaimana “Bahtera Pendidikan” itu. Kami (para kompasianers) bagaikan para penduduk yang tidak sabar ingin juga memasuki perahu besar penyelamat tapi ternyata kami harus mendengarkan pemaparan Nabi Nuh terlebih dahulu. Kagetlah kami, diawal-awal mendiknas sudah me-wanti-wanti kurang lebih begini: “Tolong jangan buat masalah baru, dinas pendidikan nasional sudah penuh dengan masalah pendidikan. Lebih baik dengarkan pemaparan saya”.

Menurut saya, wanti-wanti ini seperti perintah halus Nabi Nuh yang berbunyi: “Wahai kaumku, maafkan Nabimu ini. Bahtera yang kubuat sudah penuh sesak penumpang. Kalian jangan buat masalah baru dengan memaksa masuk bahtera ini karena saya sudah repot dengan permasalahan di dalam bahtera”. Agar tambah percaya “bahtera pendidikan telah penuh sesak dengan permasalahan”, kami disuguhkan berbagai data permasalahan yang perlu segera ditangani. Artinya, Muhammad Nuh hanya khusus menyediakan bahteranya untuk penduduk yang berciri: (1). Masih berusia di bawah lima tahun; (2). Bersekolah di tingkat dasar (SD dan SMP); (3). Bersekolah di SMK dan politeknik; (4). Menjadi guru, dan (5). Menjadi dosen.

Angka demi angka disuguhkan sepanjang pemaparan Mendiknas. Kami hanya manggut-mangut, entah ada yang paham atau tidak. Di akhir pemaparan, Menteri yang lahirnya di Surabaya itu berjanji akan menuntaskan segera permasalahan di dalam “bahtera pendidikan” dengan program: (1). Peningkatan akses PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini); (2). Percepatan penuntasan pendidikan dasar; (3). Penguatan pendidikan vokasi (SMK) dan politeknik; (4). Percepatan kualifikasi sertifikasi dan rintisan pendidikan profesi guru, dan (5). Percepatan pendidikan S3 bagi dosen.

Dengan perintah halus itu, kami para penduduk merasa ditinggal oleh Nabi kami, maka dari itu kami tetap keras kepala ingin masuk ke bahtera Nabi Nuh. Sebagai orang yang punya kuasa, jelas Nabi Nuh menolak permintaan kami. Karena hari-H musibah semakin dekat, Nabi Nuh akhirnya memanggil beberapa perwakilan dari penduduk untuk menjelaskan mengapa para penduduk merasa berhak ikut bahtera Nabi Nuh.

Majulah para perwakilan dari kompasianers untuk bertanya. Misal kompasianer Omjay yang mengusulkan agar peran dan fungsi PGRI (Persatuan Guru Republik Indonesia) diberdayakan. Kemudian ada juga yang mengajukan permasalahan tentang pendidikan di daerah perbatasan. Masalah lagu anak-anak dan olahraga pun tak luput untuk dipertanyakan. Belum lagi masalah buku diktat pelajaran sekolah dan LKS-nya. Ada satu lagi ternyata yang hampir luput dari pemaparan Mendiknas, yaitu masalah pendidikan pesantren, masalah ini juga dipertanyakan. Dan terakhir, pertanyaan tentang korupsi di sekolah.

Saya sebagai penonton diorama cerita penyelamatan Nabi Nuh berkata dalam hati: “Wah, tenyata alasan para penduduk yang ingin masuk dan ikut bahtera Nabi Nuh sangat logis dan menyentuh berbagai aspek persoalan. Wajarlah, kalau mereka berhak ikut karena di tangan mereka mungkin akan muncul generasi pencerah”. Akan tetapi berbeda dengan perkataan dalam hati saya, Mendiknas seakan-akan “menutup pintu” bahtera pendidikannya terhadap berbagai permasalahan yang diajukan. Beliau memang menjawab semua pertanyaan perwakilan Kompasianers, tetapi tetap saja kegundahan tetap melanda di hati mereka yang bertanya karena belum terpuaskan. Itu menurut saya.

Cerita penyelamatan Nabi Nuh akhirnya berakhir. Ini yang menarik buat saya. Bahtera pun segera berangkat. Banjir besar mulai mengenangi para penduduk yang tertinggal. Mereka berteriak minta tolong ke Nabi Nuh. Dari kejauhan, Nabi Nuh pun balas berteriak dan melemparkan sesuatu ke arah para penduduk yang tertinggal dan mulai panik itu. “Wahai kaumku, sekali lagi maafkan Nabimu. Ini saya tinggalkan nomor hape dan alamt email untuk kalian. Bagi kalian yang selamat dari banjir besar ini, tolong hubungi Nabimu. Saya akan jemput kalian tetapi tidak sekarang”.

(lho, emang di zaman nabi Nuh, sudah ada hape dan internet? :) )

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline