Lihat ke Halaman Asli

Ahmed Tsar Blenzinky

TERVERIFIKASI

Blogger | Content Creator | Sagitarius

Kontroversi RPM Content: Aturan yang Mengkriminalisasi Ideologi

Diperbarui: 26 Juni 2015   17:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Wacana Kontroversi RPM Content sepertinya mengulangi apa yang diperdebatkan pada masa lalu (Baca: Orba). Bahkan, berlanjut pada masa kini. Yakni, perdebatan tentang kriminalisasi ideologi. Walau sudah pada tahap pelaksanaan yang teraplikasi dalam berbagai "pasal karet" sampai saat ini, tetap saja masih dapat dipertanyakan: apakah pantas suatu ideologi dipidanakan? Maksudnya, perlu dibedakan antara ideologi sebagai suatu ilmu dengan tindakan nyata dan anarkis yang dilakukan orang atau kelompok penganut suatu ideologi tertentu.

Secara sederhana, awalnya ideologi mencerminkan ilmu tentang kumpulan ide (Armahedi Mahzar: 5). Mengikuti perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, akhirnya ideologi mengandaikan suatu produk dari kebudayaan cetak. Dengan kalimat lain, ideologi hanya merupakan kumpulan informasi yang mengandung suatu ilmu. Lebih jauh, nilai dari definisi ideologi adalah netral. Apakah ia dipandang baik atau jahat, tergantung pada pemahaman pelaku penganut ideologi. Begitu pula dengan media penampung suatu ideologi, ia bersifat netral.

Lebih lanjut. Pemaparan ideologi pada alinea sebelumnya ingin membedakan 1. Orang atau kumpulan yang membuat ideologi, 2. Ideologi itu sendiri, 3. Media sebagai wadah ideologi, 4. Orang atau kelompok yang menikmati ideologi, dan 5. Tindakan nyata serta anarkis dari orang atau kelompok yang menikmati ideologi.

Kembali pada RPM Content, perlu dicermati lebih lanjut. Nampaknya dan memang sudah terlihat, RPM tersebut ingin mengkriminalisasi ideologi yang berdampak pada pem-pidana-an orang atau kelompok yang membuat ideologi (baca: orang yang bertanggung jawab). Selain itu, kriminalisasi tersebut juga berefek pada pembekuan media sebagai wadah ideologi. Dua dampak tersebut salah-satunya tergambar pada semacam pembentukan lembaga sensor dalam aturan RPM Content.

Nah, inilah yang harus ditolak. Maksudnya, RPM Content secara keseluruhan. Alasannya, selama seseorang atau sekelompok penganut (baca: pencipta dan pengguna) ideologi belum melakukan tindakan nyata secara anarkis, maka belum pantas seseorang atau sekelompok tersebut dipidanakan. Bagaimana dengan tindakan nyata yang anarkis dari orang atau keloompok yang menikmati ideologi? Inilah yang pantas dikriminalisasikan dan aturan kriminalisasi tersebut sudah diatur dalam KUHP.

Mungkin ada yang berdalih, "RPM Content dibuat untuk mencegah tindakan nyata yang anarkis (baca: kejahatan) dari orang atau kelompok". Pernyataan ini sepertinya salah kaprah karena mengikuti ungkapan "lebih baik mencegah daripada mengobati". Pada awalnya, ungkapan tersebut berasal dari dunia medis (baca: ukuran-ukuran kuantitatif). Kemudian tanpa alasan yang jelas dan bermakna, ungkapan tersebut dipinjam secara paksa ke ukuran-ukuran kualitatif. Meminjam kajian Jalaluddin Rakhmat, peminjaman ungkapan secara paksa tersebut mencerminkan salah-satu kesalahan berpikir intelektual (intellectual cul-de-sac). Yakni kecendrungan orang untuk melakukan apa yang disebut dengan over-generalisation (fallacy of dramatic instance). Lebih jauh, fallacy of dramatic instance adalah penggunaan satu-dua kasus untuk mendukung argumen yang bersifat general atau umum (Jalaluddin Rakhmat: 5).

Kabar terakhir, jadi-tidaknya RPM Content menjadi permen akan diputuskan Senin 29 Februari 2010 setelah datang "ancaman" dari wakil DPR dari partai segitiga biru.

Catatan akhir: kata ideologi sebenarnya sudah tak layak digunakan di era teknologi informasi-komunikasi. Ada satu kata yang mewakili suatu produk dari kebudayaan cyber, yaitu imagologi. Maksudnya, imagologi mencerminkan suatu terma perkembangan dari kata ideologi. Kata imagologi berasal dari Milan Kundera (Armahedi Mahzar: 1) yang terdapat dalam novelnya berjudul Immortality. Imagologi sendiri didefinisikan sebagai aneka ikon dan simbol yang dihasilkan dari kebudayaan internet. Seperti tulisan, gambar,video, film. grafis, software dan lain-lain yang terhimpun dalam jaringan raksasa "desa buana"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline