Lihat ke Halaman Asli

Ahmed Tsar Blenzinky

TERVERIFIKASI

Blogger | Content Creator | Sagitarius

Merekam Jejak Sejarah Surat Kabar Kompas

Diperbarui: 26 Juni 2015   18:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Lagi-lagi eksitensi Kompas digugat di blog sosial Kompasiana. Hanya karena masalah yang ditimbulkan oleh dirinya sendiri, jurus "gebyah uyah" dikeluarkan sampai-sampai menyinggung SARA. Secara obyektif kalau melihat kembali sejarah Harian yang tahun ini berulang tahun ke-45 ini, rekam-jejak Kompas juga mengkontruksi sejarah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Berikut saya sharing-kan sejarah Kompas dari blogger Gigih Sari Alam.

******

Kompas sebagai suatu perusahaan media massa yang besar dan prestisius ini merupakan sebuah perusahaan yang paling lama atau mempunyai umur yang lebih

lama dari media yang lainnya. Harian yang bermotto " Amanat Hati Nurani Rakyat". Di awali dengan akan bangkrutnya PT Kinta dengan terbitan majalah bulanan Intisari yang didirikan oleh (Alm.) Auwjong Peng Koen, atau lebih dikenal dengan nama Petrus Kanisius Ojong seorang pimpinan redaksi mingguan Star Weekly, berserta Jakob Oetama, wartawan mingguan Penabur milik gereja Katolik. Edisi perdana dari bulanan Inti Sari terbit pertama kali pada tanggal 7 Agustus 1963, dengan jumlah 128 halaman dengan terdiri dari 22 artikel.

Edisi perdana ini memuat karya terjemahan tentang bintang layar perak Marilyn Monroe, pengalaman perjalanan ke London Nugroho Notosusanto, seorang ahli sejarah dari Universitas Indonesia, dan kisah Usmar Ismail, sutradara film kenamaan, ketika pertama kali membuat film.

Tahun 1964 Presiden Soekarno mendesak Partai Katolik untuk mendirikan koran, maka dari wartawan bulanan Intisari inilah sebagian wartawan Katolik direkrut. Selanjutnya, beberapa tokoh Katolik terkemuka seperti P.K. Ojong, Jakob Oetama, R.G. Doeriat, Frans Xaverius Seda, Policarpus Swantoro, R. Soekarsono,mengadakan pertemuan bersama beberapa wakil elemen hierarkis dari Majelis Agung Wali Gereja Indonesia (MAWI): Partai Katolik, Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), Pemuda Katolik dan Wanita Katolik. Mereka sepakat mendirikan Yayasan Bentara Rakyat.

Susunan pengurus pertama dari Yayasan Bentara Rakyat adalah; ketua Ignatius Joseph Kasimo (ketua Partai Katolik), wakil ketua Frans Seda (Menteri Perkebunan dalam kabinet Soekarno), penulis I F.C. Palaunsuka, penulis II Jakob Oetama, dan bendahara P.K. Ojong. Dari Yayasan Bentara Rakyat inilah harian Kompas dilahirkan.

Pada awal penerbitannya, Frans Seda yang pada waktu itu menjabat sebagai menteri perkebunan rakyat mengatakan Jenderal Ahmad Yani menyarankan bahwa supaya Kompas memberikan wacana untuk menandingi wacana PKI yang berkembang, pada saat itu. Namun secara pribadi Jacob Oetama dan beberapa pemuka agama Katolik seperti Monsignor Albertus Soegijapranata, Ignatius Joseph Kasimo tidak mau menerima begitu saja mengingat kontekstual politik, ekonomi dan infrastruktur pada saat itu tidak mendukung.

Tapi tekad Partai Katolik menerbitkan koran sudah final Ojong dan Oetama ditugaskan membangun perusahaan. Mulailah mereka bekerja mempersiapkan penerbitan koran baru, corong Partai Katolik. Tapi, suhu politik yang memanas saat itu, membuat pekerjaan ini tak mudah. Rencananya, koran ini diberi nama Bentara Rakyat. Menurut Frans Seda PKI tahu rencana itu, lantas dihadang, namun karena Bung Karno setuju jalan terus hingga izinnya keluar. Frans Seda mengacu pada Partai Komunis Indonesia adalah salah satu partai besar di Indonesia pada 1950-an dan 1960-an serta PKI memenangkan tempat keempat dalam pemilihan umum 1955.

Izin sudah di tangan, tapi Bentara Rakyat tak kunjung terbit. Rupanya rintangan belum semuanya berlalu. Masih ada satu halangan yang harus dilewati, yakni izin dari Panglima Militer Jakarta, waktu itu dijabat oleh Letnan Kolonel Dachja. Dari markas militer Jakarta, diperoleh jawaban izin operasi keluar jika syarat 5.000 tanda tangan pelanggan terpenuhi. Akhirnya para wartawan pegi ke pulau Flores untuk mendapatkan tanda tangan tersebut, karena memang flores mayoritas adalah penduduk beragama katolik.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline