Awas ada senjata baruRabu (17/3/2021). Direktorat Lalu Lintas (Dirlantas) Polda Metro Jaya melakukan uji coba penggunaan drone surveillance untuk memantau lalu lintas dan demonstrasi. Menurut penuturan Dirlantas Polda Metro Jaya Kombes Sambodo Purnomo Yogo, drone akan digunakan untuk melihat 'meng-chapture' dan 'nge-zoom' pada saat situasi demonstrasi untuk mengetahui identitas pelaku yang diduga melakukan aksi anarkis.
Penggunaan drone di beberapa negara sangat memicu perdebatan dan perlawanan dari publik lantaran dianggap sangat melanggar hak atas privasi dan rentan disalahgunakan oleh aparat. Masyrakat menganggap kegiatan itu sangat menganggu privasi dan melanggar dari hak kebebasan masyarakat.
Di Amerika Serikat, pada saat sepanjang aksi 'Black Lives Matter', kepolisian mengerahkan drone dan helikopter lebih dari 15 kota di Amerika Serikat. "The New York Times" melaporkan pengiriman pesawat tak berawak di Minneapolis memicu penyelidikan kongres dan tunduhan luas bahwa badan-badan federal telah melanggar hak privasi para demonstran.
The American Civil Liberties Union (ACLU) dan The Electronic Frontier Foundation (EFF) mengungkapkan kekhawatiran akan penggunaan drone oleh aparat terutama tentang akses dan durasi penyimpanan rekanan pengawasan.
Menurut Karen Gullo dari EFF penggunaan drone selama protes damai memungkinkan polisi untuk menggunakan teknologi pengenalan wajah untuk mengidentifikasi demonstran yang di 'chapture' oleh drone, bahkan ketika tidak ada kecurigaan sekalipun.
Direktur Hukum ACLU Corey Shapiro sendiri tetap tidak memungkiri manfaat penggunaan drone untuk mengawasi protes, tetapi hal tersebut dapat mencederai proses peradilan jika polisi mengunakan drone untuk menargetkan individu tertentu tanpa meminta surat perintah.
Di Prancis pada bulan Desember 2020 silan, pengadilan administrasi tertinggi Prancis melarang penggunaan drone oleh kepolisian untuk mengawasi demonstrasi di Prancis. Council of State Prancis memerintahkan kepolisian prefektur Didier Lallement untuk segera menghentikan pengawasan pertemuan di publik menggunakan drone. Mereka secara serius meragukan legalitas pengawasan drone tanpa adanya peraturan yang mengesahkan dan mengatur penggunaannya. Council of State juga menganggap kepolisian tidak dapat memberikan bukti bahwa penggunaan drone benar-benar dibutuhkan untuk menjaga ketertiban umum. Pada April 2020, Council of State juga telah melarang penggunaan drone oleh aparat kepolisian Paris untuk mengawasi dan melacak orang-orang yang melanggar aturan lockdown.
Sedangkan demonstran di Chile menggunakan laser sederhana untuk melumpuhkan drone pemerintah yang mengawasi jalannya demonstrasi besar-besaran terkait upah rendah dan ketidaksetaraan di tahun 2019 silam. Demonstran di Hong Kong juga menggunakan taktik yang sama untuk menghindari kamera pengenal wajah yang di pakai polisi untuk mengindentifikasi demonstran. Untuk melawan taktik ini, kepolisian Hong Kong kemudian memasukkan peranti laser ke dalam kategori berbahaya karena dapat merusak alat serta melukai aparat.
Kewenangan serta aturan penggunaan drone yang belum jelas memungkinkan diskresi kepolisian yang terlalu luas dengan klaim tujuan ketertiban umum. Tujuan, prosedur, serta alur proses data yang diambil oleh drone kepolisian harus jelas dan transparan. Kepolisian harus memperjelas data apa yang diambil serta bagaimana dan beberapa lama data tersebut akan disimpan. Akses terhadap data serta mekanisme pengawasan penggunaan drone tersebut juga harus transparan.
Sementara penjelasan yang diberikan Dirlantas Rabu lalu belum cukup untuk memberikan justifikasi penggunaan drone untuk mengawasi demonstrasi. Jika tidak diperjelas, penggunaan drone hanya akan menjadi alat senjata baru untuk aparat untuk menargetkan individu tertentu serta mengkriminalisasi masyarakat sipil.