Lihat ke Halaman Asli

Ahmat Fauzi

Mahasiswa di Politeknik Harapan Bersama

Menyoal Pernyataan "Pendidikan Tersier" dan Dampaknya pada Akses Pendidikan Tinggi

Diperbarui: 26 Juni 2024   22:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Pernyataan terbaru dari pejabat Kemendikbudristek yang menyebut pendidikan tinggi sebagai "edukasi tersier" telah memicu polemik di masyarakat. Tjitjik Srie Tjahjandarie, Plt. Sekretaris Ditjen Pendidikan Tinggi, menyatakan bahwa pendidikan tinggi tidak wajib dan hanya merupakan pilihan bagi mereka yang ingin melanjutkan pendidikan setelah sekolah menengah. Ini memunculkan berbagai reaksi dari berbagai kalangan, terutama mahasiswa dan anggota DPR.

Problematika Pernyataan

Satu hal yang patut dicermati adalah konteks dari pernyataan ini. Dalam sebuah negara yang sedang berusaha keras meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan meraih bonus demografi, pendidikan tinggi seharusnya dipandang sebagai investasi jangka panjang. Pendidikan tinggi memainkan peran krusial dalam mempersiapkan generasi muda untuk menghadapi tantangan global dan berkontribusi pada pembangunan nasional. Oleh karena itu, pernyataan yang menyebut pendidikan tinggi sebagai sesuatu yang "tersier" dapat dimaknai sebagai langkah mundur dalam upaya pemerataan akses pendidikan.

Dampak pada Biaya Pendidikan

Salah satu isu krusial yang muncul dari kontroversi ini adalah tingginya biaya Uang Kuliah Tunggal (UKT). Banyak mahasiswa mengeluhkan kenaikan UKT yang dianggap memberatkan. Pernyataan bahwa pendidikan tinggi hanya merupakan pilihan, bukan kewajiban, bisa saja dilihat sebagai bentuk pelepasan tanggung jawab pemerintah dalam menyediakan pendidikan yang terjangkau dan berkualitas. Ini bertentangan dengan prinsip pemerataan pendidikan dan upaya untuk mengatasi ketimpangan sosial (KOMPAS.com).

Refleksi pada Kebijakan Pendidikan

Dalam situasi seperti ini, pemerintah seharusnya lebih fokus pada bagaimana membuat pendidikan tinggi lebih terjangkau dan mudah diakses oleh semua lapisan masyarakat. Klarifikasi dari Abdul Haris, Dirjen Dikti, yang menegaskan pentingnya pendidikan tinggi dalam mencapai visi Indonesia Emas 2045, menunjukkan kesadaran pemerintah akan pentingnya sektor ini. Namun, pernyataan dan kebijakan harus selaras dengan tindakan nyata untuk mengatasi permasalahan biaya dan aksesibilitas.

Kontroversi ini menggambarkan perlunya pendekatan yang lebih sensitif dan komprehensif dalam mengelola pendidikan tinggi di Indonesia. Pendidikan tinggi seharusnya tidak hanya dianggap sebagai pilihan elit, tetapi sebagai hak yang harus diupayakan untuk diakses oleh semua warga negara. Upaya pemerintah untuk meningkatkan kualitas dan aksesibilitas pendidikan tinggi harus disertai dengan kebijakan yang jelas dan tindakan yang nyata untuk memastikan bahwa setiap anak bangsa memiliki kesempatan yang sama untuk meraih pendidikan terbaik.

Pemerintah, bersama dengan berbagai pemangku kepentingan, perlu bekerja sama untuk menciptakan solusi yang lebih baik terhadap permasalahan biaya pendidikan dan memastikan bahwa visi Indonesia Emas 2045 bisa tercapai melalui pendidikan yang inklusif dan berkeadilan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline