Mohammad Hatta pernah menegaskan bahwa demokrasi hanya dapat tegak jika didukung oleh kebebasan politik dan independensi ekonomi. Sebuah pesan yang sederhana namun sarat makna, mengingatkan kita bahwa demokrasi bukan sekadar mekanisme pemilu, tetapi sebuah sistem yang menuntut kedewasaan moral dan ekonomi. Namun, Pilkada 2024 memperlihatkan wajah lain dari demokrasi kita: sebuah sistem yang semakin terjebak dalam praktik transaksional, baik melalui pembagian sembako, money politik, hingga janji-janji seperti pemberangkatan ibadah tertentu atau jabatan tertentu.
Transaksi di Atas Nilai Demokrasi
Di tengah euforia politik, praktik-praktik seperti pemberian sembako atau amplop berisi uang sering kali dianggap hal yang "wajar." Lebih dari itu, Pilkada 2024 juga diramaikan oleh janji-janji bernuansa spiritual seperti pemberangkatan ibadah tertentu atau penawaran jabatan strategis kepada pihak-pihak tertentu. Apa yang tampaknya sebagai bentuk perhatian kepada rakyat sebenarnya merupakan strategi manipulasi, membajak moralitas untuk keuntungan politik semata.
Janji ibadah seperti memanfaatkan sensitivitas religius masyarakat. Di negeri yang menjunjung tinggi nilai agama, janji ini mampu menciptakan ilusi perhatian dari calon pemimpin, padahal hakikatnya itu adalah bentuk eksploitasi nilai-nilai spiritual. Sementara itu, janji jabatan tidak hanya merusak sistem meritokrasi, tetapi juga menumbuhkan budaya patronase yang menggerogoti institusi publik.
Praktik semacam ini adalah pengkhianatan terhadap demokrasi. Demokrasi yang sejatinya mengutamakan kedaulatan rakyat justru berubah menjadi arena transaksional, di mana suara rakyat diperdagangkan seperti barang di pasar.
Ketimpangan Ekonomi: Akar Masalah Demokrasi Transaksional
Tidak bisa dipungkiri, ketimpangan ekonomi menjadi faktor utama yang melanggengkan praktik politik transaksional. Dalam masyarakat yang masih bergulat dengan kemiskinan, janji sembako, amplop uang, menjadi harapan konkret yang sulit ditolak.
Ketergantungan ekonomi ini membuat rakyat kehilangan daya kritis. Dalam kondisi seperti ini, suara mereka tidak lagi lahir dari kebebasan, tetapi dari kebutuhan mendesak yang bersifat pragmatis. Inilah yang dimaksud Bung Hatta ketika menyebut bahwa tanpa independensi ekonomi, kebebasan politik akan menjadi ilusi.
Ketika rakyat terus-menerus berada dalam kondisi ekonomi yang rapuh, mereka tidak memiliki pilihan selain menerima segala bentuk "bantuan" yang ditawarkan, meskipun itu berarti menggadaikan masa depan demokrasi mereka.
Hukum yang Tumpul, Etika yang Terkikis