Pemerintah Indonesia dalam hal ini melakukan inisiasi untuk implementasi kebijakan domestik yaitu antara lain dengan penyampaian komitmen Indonesia dalam emisi Gas Rumah Kaca (selanjutnya dalam artikel disingkat GRK) tahun 2030 sebesar 32% hingga 43% dibandingkan business as usual, turut serta dalam penandatanganan Paris Agreement pada acara High-level Signature Ceremony for the Paris Agreement, serta mempersiapkan perangkat hukum domestik dalam pencapaian target emisi GRK tersebut. Menindaklanjuti komitmen Indonesia tersebut, dalam kerangka pengurangan emisi GRK melalui tata laksana nilai ekonomi karbon, khususnya dalam konteks Perdagangan Karbon, Pemerintah telah mempersiapkan perangkat regulasi terkait pasar karbon dalam:
- Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement to the United Nations Framework Convention On Climate Change;
- Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan;
- Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon (NEK) Untuk Pencapaian Target Kontribusi yang ditetapkan Secara Nasional dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca dalam Pembangunan Nasional; dan
- Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 21 Tahun 2022 tentang Tata Laksana Penerapan Nilai Ekonomi Karbon. Perangkat hukum perdagangan karbon tersebut di atas telah mengamanatkan penyelenggara perdagangan di bidang pasar modal untuk menyelenggarakan Perdagangan Karbon melalui Bursa Karbon.
Berdasarkan regulasi dan kebijakan tersebut pada dasarnya dimaksudkan untuk melakukan pencegahan kerusakan alam dan pengurangan emisi GRK yang berdampak pada perubahan iklim bumi. Perangkat hukum perdagangan karbon di atas telah mengamanatkan penyelenggara perdagangan di bidang pasar modal untuk menyelenggarakan Perdagangan Karbon melalui Bursa Karbon.
Perdagangan Karbon sebagaimana dimaksudkan adalah aktifitas yang dilakukan pada lantai bursa karbon yang diselenggarakan oleh Bursa Efek Indonesia dan merupakan penyelenggara resmi satu-satunya dari pemerintah Indonesia yang menjalankan perdagangan karbon. Berdasarkan POJK Nomor 14 Tahun 2023 dijelaskan bahwa Perdagangan Karbon adalah mekanisme berbasis pasar untuk mengurangi emisi GRK melalui kegiatan jual beli Unit Karbon. Unit Karbon sendiri pada POJK 14 Tahun 2023 merupakan bukti kepemilikan karbon dalam bentuk sertifikat atau persetujuan teknis yang dinyatakan dalam 1 (satu) ton karbon dioksida yang tercatat dalam Sistem Registrasi Nasional Pengendalian Perubahan Iklim (disingkat: SRN PPI). Sertifikat atau persetujuan teknis yang telah tercatat pada SRN PPI disebut sebagai Sertifikat Pengurangan Efek - Gas Rumah Kaca (disingkat menjadi SPE-GRK).
Dengan demikian carbon trading sebagaimana dimaksudkan adalah jual-beli SPE-GRK yang akan dibeli oleh perusahaan yang berkepentingan dari industri yang dijalankan dan menghasilkan emisi karbon yang cukup banyak seperti negara atau perusahaan dengan basis industri pabrik baja, pembangkit listrik batu bara (PLTU) atau pembangkit listrik gas, pusat data (data center) dan sektor transportasi. Adapun penjual dari SPE-GRK merupakan negara atau perusahaan yang memiliki dan mampu menyerap emisi gas karbon (CO2) atau perusahaan yang telah berfokus pada produksi industri dengan cara renewable energy dan minim mengeluarkan emisi gas karbon (CO2). Jika dicontohkan adalah Perusahaan seperti Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS), Pembangkit Listrik Tenaga Bayu / Angin (PLTB), Perusahaan Konversi Hutan dan perusahaan pengolah sampah organik.
Lantas, mengapa perusahaan harus memiliki SPE-GRK? Negara dan Perusahaan yang mengeluarkan emisi gas karbon tinggi memiliki Batas Atas Emisi GRK. Batas Atas Emisi GRK adalah tingkat Emisi GRK paling tinggi yang ditetapkan dalam suatu periode tertentu sehingga perusahaan wajib melakukan pengimbangan atas emisi gas karbon yang dilakukan oleh unit usahanya. Adapun hal yang mendasari adalah Peraturan general yang berbasis pada Paris Agreement, kemudian diterjemahkan melalui Undang-Undang Dasar 16 tahun 2016 dan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023, kemudian Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 dan kemudian peraturan teknis yang dielaborasikan oleh Kementerian dan Lembaga terkait seperti Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 22 Tahun 2019, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 21 Tahun 2022 dan khusus untuk Perdagangan Bursa Karbon diatur oleh Otoritas Jasa Keuangan pada POJK 14 Tahun 2023.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H