Sudah berpuluh-puluh tahun kita menjadi bangsa yang merdeka, selama itu pula kita mengalami proses perubahan demi perubahan termasuk berafiliasinya globalisasi ke Indonesia, mau tidak mau. Di satu sisi, globalisasi membuat horizon pengetahuan kita sebagai bangsa menjadi kian tak terbatas, borderless dan bahkan timeless. Tetapi disisi lain ada dampak negatif juga yang muncul berupa terkekangnya keratifitas kita oleh rapid technological development bangsa barat yang semakin tidak bisa kita ikuti.
Tidak salah memang, perkembangan teknologi membuat manusia menjadi lebih mudah dalam melaksanakan segala keperluannya. Informasi, telekomunikasi, transportasi dan energi menjadi ‘di depan mata’ dan ‘saat itu juga’. Sayangnya, masyarakat kita –mungkin termasuk kita– masih hanya berhenti pada level proud of having alias ‘bangga punya’ saja, tidak lebih. Kita akan bangga kalau memakai BMW atau Mercedes ketika pergi kerja. Kita akan bangga ketika ada Samsung Galaxy yang menjadi gadget kita dan kita akan bangga kalau MacBook sudah ada di tangan kita. Bukan salah kita sepenuhnya, memang. Subconcious mind kita sudah di’latih’ secara tidak langsung untuk itu.
Jangankan berfikir tentang bagaimana caranya menciptakan produk yang serupa dan sekualitas, dalam benak kita bahkan jarang –bahkan tidak pernah– terpikir pertanyaan ‘How does it work?’, bagaimana caranya poduk teknologi itu bekerja sedemikian canggih?Pertanyaan itu mungkin hanya segelintir orang saja yang memikirkan dan mayoritas akan berujung pada ‘Ah, ngapain pusing-pusing mikir? Yang penting saya bisa pakai dan stylish’.
Sebetulnya tidak menjadi mengapa kalau kita sebagai user itu betul-betuk memiliki keperluan dengan fitur dan konten dalan produk teknologi itu, untuk keperluan pekerjaan atau studi misalnya. Tetapiyang terjadi dewasa ini border ‘keperluan’ dan ‘keinginan’ itu kini sudah sedemikian tipis, sehingga akal sehat agak susah membedakan. ‘Keinginan’ itu kini lebih mendominasi willingness kita untuk membeli produk-produk teknologi, bukan lagi ‘kebutuhan’, akhirnya, dalam kacamata bisnis, kita menjadi pasar yang ‘latah’. Begitu ada produk teknologi baru –meskipun biasanya hanya ada sedikit fitur tambahan dari produk sebelumnya– kita akan berlomba-lomba mendapatkannya. Begitu seterusnya. Saat itulah proses kematian kreatifitas yang saya singgung di awal tadi bermula. Lifestyle dan habbit menutup pintu creativitydan couriosity (penasaran) kita. Padahal menurut saya, dua istilah tadi merupakan langkah awal yang penting untuk menciptakan produk yang valuable.
Tidak heran kalau memang kita menjadi bangsa yang besar hanya dalam aspek ‘objek pasar’ saja. Kembali dari kacamata bisnis, manusia yang berjumlah 230 juta dengan heterogenitas latar belakang, suku, pendidikan, pola pikir dan tingkat kemakmuran finansial merupakan ‘surga’bagi para pelaku bisnis. Setidaknya segmentasi pasar di Indonesia lebih dari lima, ditinjau dari berbagai sisi. Jadi seandainya sebuah produk itu gagal di sebuah negara, belum tentu gagal dijual di Indonesia. Market yang begitu huge ini menyisakan banyak celah segmen untuk dimasuki. Tidak heran juga perusahaan sekelas RIM menempatkan Indonesia sebagai pilot project Blackberry. Launchingnya pun dilaksanakan pertama ke Indonesia, baru kemudian ke Singapore dan Malaysia. RIM pun kalang kabut ketika ‘nyaris’ kehilangan pasar di Indonesia akibat ancaman khusus dariMenkominfo untuk memblok konten pornografi, sehingga mereka buru-buru mengiyakan permintaan itu, khawatir pasar di Indonesia lenyap.
Toyota, yang merupakan salah satu perusahaan otomotif terbesar di dunia, juga menggantungkan penjualan produk mereka di Indonesia. Tanpa Indonesia, mungkin sampai seperempat total omzet mereka akan drop. Apalagi market share Toyota di Indonesia sampai akhir 2010 masih memimpin di atas Honda dan Daihatsu. Bisnis After Sales Toyota di Indonesia juga tidak pernah lepas dari urutan 3 besar selama tiga tahun terakhir versi JD Power. Nokia, perusahaan gadget modern, diakabarkan siap membangun pabrik di Indonesia untuk memenuhi demand yang cukup tinggi di Asia Tenggara. Langkah yang fantastis. Belum lagi dengan berjubelnya produk dari Cina yang sudah merajalela di pasar. Mulai barang mewah dan luxury, sampai barang murah kelas grass root, sudah dipenuhi dengan barangan impor negeri tirai bambu itu. ACFTA akan menambah banyak lagi deretan produk mereka di pasaran, sudah tidak terbendung lagi.
Lalu bagaimana dengan produk teknologi buatan Indonesia sendiri? Entah disengaja atau tidak, atau mungkin sudah matinya kreatifitas dalam hal teknologi akibat globalisasi tadi, sepertinya mediasi dan apresiasi terhadap perusahaan berbasis teknologi di Indonesia kurang diperhatikan, padahal sebetulnya di negara kita masih ada perusahaan atau industri yang berbasis teknologi yang bisa dikembangkan.
Contoh pertama adalah PT. PAL. Perusahaan pembuat kapal peninggalan belanda ini masih terus aktif beroperasi. Produk-produknya yang cukup beragam mulai dari kapal perang, kapal niaga dan kapal cepat menguasai mayoritas pangsa pasar domestik. Produk kapal perang sendiri memiliki banyak varian mulai dari ukuran kapal patroli kecil sampai kapal besar, yang banyak dipakai Armada Angkatan Laut kita. Produk kapal niaga juga tidak kalah banyak, beberapa model dan desain juga sudah keluar pasar. Kapal tanker buatan perusahaan ini juga bukanlah kapal tanker mini yang beroperasi antar pulau, melainkan kapal-kapal tanker bervolume besar yang layak digunakan untuk pengiriman skala internasional. Lebih dari itu, PT. PAL juga punya divisi General Engineering yang memproduksi komponen-komponen power plant, refinery, off shore construction, diesel engine, crane, turbine dan komponen lainnya. Semua segmen bisnis itu kian dibungkus rapi oleh PT. PAL dengan adanya divisi repair and maintenance yang menyediakan jasa perbaikan dan perawatan.
Kalau dipikir secara logis, perusahaan besar dengan fasilitas dan kapasitas produksi sehebat itu seharusnya bisa menjadi komoditi utama negara kita. Namun kenyataannya, sekali lagi entah apa yang terjadi, sepertinya perhatian dan support kurang cukup diberikan kepada perusahaan potensial ini. Pasar internasional sepertinya belum optimal digarap. Padahal, jika dilihat negara dunia ketiga yang masih pada tahap awal pembangunan, contohnya negara di Afrika dan Amerika latin yang memiliki wilayah sungai, pantai dan perairan, pastilah memerlukan sarana transportasi yang memadai untuk menjalakan aktifitas pembangunan. Dan seharusnya celah ceruk pasar itu digarap. Ada produk yang sesuai dengan segmen pasar yang saya sebutkan tadi.Dan saya cukup yakin harga jual yang dipunyai PT. PAL bisa bersaing dengan perusahaan-perusahaan perkapalan yang ada di sana.
Contoh yang kedua adalah PT. PINDAD, perusahaan pembuat senjata dan peralatan perang. Bisa dihitung, berapa banyak perusahaan semacam ini di dunia. Seharusnya dengan proses pemasaran yang optimal dan perhatian yang cukup dari pemerintah, perusahaan ini mampu menembus pasar Asia, atau minimal Asia Tenggara yang sedikit sekali (atau bahkan tidak ada?) perusahaan semacam ini. Sekali lagi kalau konsentrasi pasar diarahkan ke negara dunia ketiga seperti Myanmar, Bangladesh, Kashmir, dan negara-negara yang selevel dengan mereka sepertinya volume peningkatan produksi dan penjualan bisa ditingkatkan. Namun lagi-lagi, entah perhatian kita tertutup atau bagaimana, informasi dan berita tentang performance perusahaan ini juga jarang sekali kita dapatkan.
Masih banyak lagi sebetulnya perusahaan-perusahaan di Indonesia yang bernafaskan technology based. Perusahaan Gas Negara yang nilai ekspornya ke jepang sangat fantastis tiap tahunnya, Pertambangan Batu Bara, Pertambangan Minyak, industri kelapa sawit, industri pengolahan bahan mentah dan masih banyak lagi. Harapan dan optimisme kita bersama sebagai warga negara ke depan adalah perusahaan-perusahaan ini mampu berkontribusi maksimal untuknegara, dengan support dari pemerintah tentunya, lebih-lebih lagi bisa negara kita bisa menjadi market leader dalam bidang-bidang perusahaan tadi. Mediasi terhadap perusahaan ini juga harus ditingkatkan, sehingga masyarakat juga bisa memberikan fungsi kontrol dan fungsi advisory kepada perusahaan terkait dan pemerintah, sehingga kepentingan bersama memajukan perusahaan nasional itu tumbuh. Bisa jadi, keterbukaan akses juga akan membuka peluang bagi pengusaha-pengusaha lokal yang mempunyai bisnis yang relevan dengan perusahaan terkait untuk berkolaborasi bersama. Jadi ada hubungan harmonis antara BUMN dan private company. Dan ini yang kita harapkan, bukan sebaliknya. Jangan sampai transparasi publik itu menjadi bias kembali dan tiba-tiba ada penutupan BUMN strategis tanpa reason dan eksplanasi ke masyarakat yang jelas seperti kasus PT. DI beberapa waktu yang lalu yang patut disayangkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H