"Bang, Ayah di mana?" kok lama ngak pulang?"
Aku terdiam, menarik napas sejenak. Kaget, saat kalimat itu terlontar dari lelaki mungil yang belum mengerti apa-apa. Aku bingung harus menjawab apa. Aku mencoba mengalihkan pembicaraan itu. "Adek, kalau sudah besar mau jadi apa?" jawabku sambil merengkuh tubuhnya. "Aku mau jadi seperti Ayah, bang, kata Ibu, Ayah sedang bekerja, jauh sekali, makanya Ayah ngak pernah pulang, Ayah cari uang buat abang dan adek, nanti kalau Ayah sudah pulang dan bawa uang banyak, adek mau minta dibeliin mobil-mobilan yang besar."
Aku terus diam, kusandarkan kepalaku ke dinding, menghela napas sejenak. Sementara adikku terus bermain dengan mobil-mobilan kesayangannya di halaman rumah. Aku seolah membisu, tak ada lagi kata yang bisa kulontarkan, tak ada lagi rasa yang mampu kuungkapkan, selain rasa sedih yang menyelimuti hatiku pagi ini. Bukan, bukan tentang aku, tapi ini tentang adikku. Ya, sejak delapan tahun lalu, tepatnya bulan Juni, ayahku pergi dan tidak akan pernah kembali. Aku terlalu sensitif jika sudah mendekati bulan Juni, karena aku ngak mau mengingatnya lagi. Aku jadi teringat puisi favoritku, Hujan Bulan Juni. Salah satu karya fenomenal dari Sapardi Djoko Damono, penyair legendaris yang selalu membuatku tersentuh dengan sajak-sajaknya.
Terlalu perih untuk kuingat, terlalu sakit untuk kukenang, di saat teman-temanku bersenang-senang menikmati liburan sekolah, sedangkan aku dan keluargaku sedang diuji. Ujian yang sangat sulit menurutku, lebih sulit dari memecahkan rumus matematika, ya sulit dan panjang untuk sekedar menyelesaikan persoalan ini. Ini adalah soal kehidupan, kehidupan yang sangat pelik dihadapi oleh keluarga kami. Adekku saat itu baru berusia dua tahun, belum mengerti apa-apa. Belum cukup tau dan paham arti sulit dan beratnya sebuah perpisahan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H