Indonesia dikenal sebagai surganya rempah-rempah sejak zaman pra-kolonial, dimana berbagai bangsa Timur maupun Barat telah melakukan perdagangan maupun kongsi dengan pribumi Nusantara waktu itu. Berbagai bangsa di dunia mulai mengetahui sumber daya alam Nusantara yang begitu kaya dibandingkan dengan dataran lain.
Memasuki era imperialisme dan kolonialisme, beberapa bangsa dari barat mengadakan ekspansi ke wilayah Nusantara, dari barat hingga ke timur. Kedatangan awal bertujuan untuk monopoli perdagangan yang berakhir dengan tujuan Der Wille zur Macth (Kehendak untuk Berkuasa), bangsa barat kemudian menjajah dataran-dataran yang mengandung sumber daya alam yang berlimpah.
Salah satu rempah-rempah yang menjadi komoditas adalah tembakau. Tembakau sendiri merupakan sumber utama dalam memproduksi rokok. Bagi bangsa barat, tembakau adalah rempah-rempah yang begitu menjanjikan dalam hal ekonomi maupun psikologis. Di bidang ekonomi, tembakau diolah menjadi rokok yang kemudian dipasarkan.
Peminat rokok yang tinggi menjadikan usaha produksi rokok sangat laris dipasaran sehingga berpeluang untuk melanggengkan korporat dan kroni-kroninya. Di bidang psikologis, rokok dianggap sebagai sebuah kebutuhan dan "obat" dalam mengelola manajemen stres. Rokok banyak mendominasi pria dibanding wanita karena dalam pekerjaan pria dianggap sebagai faktor timbulnya stres.
Kian hari konsumen rokok di dunia semakin bertambah, termasuk di Indonesia pasca merdeka. Jumlah perokok aktif yang meningkat sejalan dengan peningkatan masalah kesehatan yang disebabkan oleh asap rokok maupun zat yang terkandung didalamnya. Bagi mereka yang belum pernah mencoba merokok, tiadalah hasrat untuk menghisapnya, kecuali bagi yang pernah mencobanya, mulut seakan rindu bila tidak kembali menghisapnya. Rokok seakan menjelma menjadi sebuah paham bagi para penganutnya (baca: perokok). Sebut saja Rokok-isme, atau paham yang mengharuskan mereka menghisap rokok maupun yang menjadi imbas asap rokok.
Para penganut Rokok-isme di dunia bertambah dari waktu ke waktu. Penganutnya berasal dari berbagai kalangan, dari proletar hingga borjuis. Rokok telah menjadi "sambilan asyik" di beberapa waktu. Dalam sehari, para penganutnya bisa menghabiskan berbatang-batang rokok. Kegiatan merokok pun tak kenal tempat dan waktu. Para Rokok-isme dapat menunaikan ibadahnya dimanapun dan kapanpun ia berkehendak selama tidak ada yang melarang maupun mempermasalahkan.
Memasuki zaman digital, Rokok-isme mewabah di kalangan usia belum produktif, seperti anak-anak dan remaja. Kondisi lingkungan yang akrab dengan kegiatan Rokok-isme dan keterjangkauan mengakses rokok, membuat anak-anak maupun remaja telah menjadi bagian dalam Rokok-isme.
Data Komisi Nasional (Komnas) Perlindungan Anak menunjukkan selama tahun 2008 hingga 2012 jumlah perokok anak di bawah umur 10 tahun di Indonesia mencapai 239.000 orang. Sedangkan jumlah perokok anak antara usia 10 hingga 14 tahun mencapai 1,2 juta orang. Ini menunjukkan surga rokok anak-anak ada di Indonesia.
Iklan-iklan rokok yang begitu masif dan mudah ditemui di berbagi media maupun selebaran banner di warung-warung menambah laris dalam mempromosikan rokok ke berbagai kalangan. Rokok-isme pun telah hadir dalam inovasi baru berupa Vape. Vape merupakan rokok elektronik yang mengandalkan sumber listrik dari baterai untuk bisa berkerja dalam menghasilkan asap dari cairan yang menjadi sumber rokok elektronik. Meskipun rokok elektronik, bahaya yang ditimbulkan masih belum luput dari masalah kesehatan.
Bagi negara, rokok sangat menjanjikan dalam bidang perekonomian karena cukai rokok merupakan asupan kas negara terbesar dan juga sebagai anggaran dalam jaminan kesehatan untuk menutupi kasus masalah kesehatan yang disebabkan oleh dampak rokok itu sendiri.
Peningkatan jumlah perokok aktif sejalan dengan peningkatan masalah kesehatan yang berujung pada jumlah korban yang berjatuhan akibat dampak buruk rokok. BPJS sebagai program jaminan kesehatan terkadang keok akibat tunggakan biaya dari peserta BPJS maupun pajak yang diterima. Tak aneh bila rumah sakit seringkali kehabisan obat karena biaya obat yang menunggak di BPJS. Untuk menutup kekurangan obat, pemerintah mengambil tindakan dengan memangkas cukai rokok untuk menambal defisit BPJS.