Lihat ke Halaman Asli

Ahmad Yani

Pendidikan Geografi Universitas Pendidikan Indonesia

Ekoliterasi, CHSE, dan Geopark

Diperbarui: 10 Desember 2021   22:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Wisata. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Salah satu kawasan geopark di Jawa Barat yang sangat populer adalah Geopark Global Ciletuh Palabuhanratu. Kawasan ini sudah memperoleh predikat UNESCO Global Geopark (UGGp) sejak pada 17 April 2017 dan berlaku hingga 17 April 2022. Lokasinya berada di Kabupaten Sukabumi Provinsi Jawa Barat. Luas wilayah Geopark Palabuhanratu sekitar 128 ribu hektar yang meliputi 8 kecamatan dan 74 desa/keluarahan di bagian Selatan Kabupataen Sukabumi. Tingkat kunjungan wisatawan ke kawasan Geopark Ciletuh, khususnya ke obyek wisata pantai selatan Kabupaten Sukabumi pada momen libur tahun baru 2021 turun sekitar 75 persen (www.republika.co.id, 3 Januari 2021). Namun, pasca pandemi diperkirakan popularitasnya diperkirakan akan naik dan kunjungan wisata mulai naik. Naiknya kunjungan wisatawan, tentu saja akan menimbulkan banyak menarik para pemodal masuk di kawasan geopark. 

Sejak 2020, pengelola mulai mempersiapkan validasi status Geopak Global sebagai siklus 5 tahunan. Proses validasi tersebut, akan menghasilkan tiga kemungkinan penilaian yaitu akan diberikan kartu merah jika tidak ada progres kemajuan sama sekali selama ditetapkan sebagai Geopark Global. Bahkan jika terjadi kerusakan lingkungan maka secara otomatis akan dicabut statusnya sebagai geopark global. Kemungkinan kedua adalah pemberian kartu kuning, jika kurang optimal. Jika memiliki kemajuan dan berdampak terhadap kehidupan masyarakat maka statusnya tentu akan diperpanjang lagi. Dengan kriteria tersebut, tentu saja ajakan kepada masyarakat untuk memelihara lingkungan hidup harus terus digalakan. Ada dua usaha untuk dapat mempertahankan status geopark Ciletuh Palabuhanratu menumbuhkan ekoliterasi warga masyarakat yang berada di kawasan tersebut. Selain itu, sebagai kawasan destinasi wisata diperlukan gerakan CHSE.  

Ekoliterasi Kepariwisataan

Ekoliterasi adalah pemahaman dan kesadaran seseorang tentang peranan lingkungan dalam kehidupan manusia. Meena dan Alison (2009) menyatakan bahwa ekoliterasi tidak sebatas pemahaman terhadap konsep ekologi, tetapi juga memiliki kepedulian terhadap kelestarian lingkungan. Gagasan tentang ekoliterasi berasal dari Fritjof Chapra (2002), yang semakin hari semakin populer di kalangan akademisi karena lingkungan yang menjadi tumpuan bagi kehidupan manusia cenderung mengalami degradasi daripada membaik. Hal ini dapart difahami karena jumlah penduduk semakin meningkat sehingga eksploitasi terhadap alam semakin tidak terkendali.

Ekoliterasi terdiri dari dua kata yaitu ekologi dan literasi. Ekologi diartikan sebagai ilmu pengetahuan tentang hubungan timbal balik antara mahluk hidup dengan sesamanya dan hubungan timbal balik atara makhkuk hidup dengan lingkunganya. Kajian ekologi adalah ekosistem yaitu sebuah sistem kehidupan yang terdiri atas komunitas mahluk hidup (terdiri dari berbagai species) dan berbagai unsur tak hidup (faktor fisik) yang berinteraksi dan mempengaruhi satu sama lain. Jika pada satu komponen ekosistem mengalami gangguan baik  menurunnya fungsi atau mengalami kerusakan, maka akan berdampak terhadap fungsi subsistem lain. Orang yang memahami tentang ekologi dan interaksi antar unsur ekosistem serta memiliki kemampuan untuk menjaga dan beradaptasi disebut sebagai orang yang memiliki kecerdasan ekologis (Goleman, 1999). Gardner (2013) merumuskan kecerdasan ekologis sebagai kemampuan manusia dalam memahami gejala-gejala alam, memperlihatkan kesadaran ekologis dan menunjukkan kepekaan terhadap bentuk-bentuk alam.

Orang yang memiliki literasi disebut literat yaitu orang terpelajar. Arti literasi awalnya hanya merujuk kepada kemampuan dan keterampilan individu dalam membaca, menulis, berbicara, menghitung, dan memecahkan masalah pada tingkat keahlian tertentu yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari. Belakangan, literasi memiliki objek yang lebih spesifik seperti adanya literasi digital, literasi media, literasi numerasi, dan terakhir ada literasi ekologi. Perilaku orang yang memiliki literasi ekologi memiliki sikap dan perilaku ramah terhadap lingkungan yang didasari oleh luasnya pengetahuan tetang bagaimana cara menghemat air, cara bijak menggunakan energi, memanfaatakan sumber daya lingkungan dengan prinsip pembangunan berkelanjutan, bahkan ketika menjadi konsumen mereka akan menghemat kantong plastik dalam kehidupan sehari-hari agar tidak banyak sampah.

Orang yang memiliki ekoliterasi akan berperilaku sama di manapun mereka berada. Mereka akan selalu peduli terhadap lingkungan baik dalam bentuk perilaku yang sepele seperti tidak membuah sampah sebarangan hingga perilaku yang memerlukan keberanian untuk mencegah orang lain yang akan merusak lingkungan hidup. Untuk berliterasi ekologi, tidak tergantung pada status sosial, karena setiap orang dapat menjalankannya. Orang-orang yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam usaha jasa kepariwisataan dapat melakukan kegiatan literasi.

Perilaku ekoliterasi yang paling sederhana di lingkungan destinasi pariwisata adalah tidak menyampah. Para usaha yang berada di kawasan destinasi menempatkan tempat usaha sesuai dengan peruntukkannya. Tersedia petunjuk dan aturan yang tegas dalam memelihara keberadaan destinasi dalam lingkup ekosistem, artinya tidak hanya focus pada titik lokasi tertentu namun memelihara keberadaan lingkungan yang "membuat" lokasi tersebut tetap lestari. Sebagai ilustrasi, jika terdapat destinasi andalannya berupa wisata air terjun maka Daerah Aliran Sungai (DAS) yang memasok aliran airnya harus tetap terjaga. Contoh lainnya, misalnya kemenarikan objek wisatanya adalah gisik pantai yang luas dan berpasir putih. Luas gisik tepi pantai menjadi andalan kemenarikannya. Agar objek tersebut tetap terjaga maka tentu saja tidak boleh dijadikan lapak pedagang kaki lima karena akan merusak keindahan pantai itu sendiri.

Perilaku ramah lingkungan diartikan sebagai perilaku yang memberikan perhatian khusus terhadap lingkungan dalam kehidupan sehari-hari (Bechtel dan Chruchman, 2002). Perilaku ramah lingkungan adalah perilaku yang secara sadar berusaha menekan kemungkinan munculnya dampak negatif dari tindakan seseorang terhadap alam atau lingkungan yang terbangun secara fisik (Kollmuss & Agyeman, 2002). Pengertian ini penting untuk digarisbawahu karena terkadang kita tidak mampu mencegah pihak tertentu yang merusak lingkungan maka sikap peduli lingkungan adalah hanya menekan agar kerusakannya tidak terlalu besar. Kasus ini banyak terjadi di lingkungan kawasan objek wisata, misalnya dalam tata ruang destinasi wisata dilarang untuk dibangun bangunan yang permanen. Namun karena, yang membangunnya adalah yang "berkuasa" maka para pihak peduli lingkungan hanya dapat mengurangi kerusakan lingkungan menyarankan agar limbah dari bangunan tersebut agar tidak mencemari lingkungan destinasi wisata.

Protokol CHSE

CHSE adalah kependekan dari Cleanliness (Kebersihan), Health (Kesehatan), Safety (Keamanan), dan Environment Sustainability (Kelestarian Lingkungan). Program CHSE merupakan program yang diadopsi oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif melalui penerbitan sertifikasi CHSE untuk para pelaku usaha di industri pariwisata dan ekonomi kreatif, seperti bidang jasa transportasi wisata, hotel/homestay, rumah makan/restoran, hingga Meetings, Incentives, Conferencing, Exhibitions (MICE). Bahkan dapat pula diberikan pada unit yang lebih kecil misalnya di pusat informasi wisata, tempat penjualan oleh-oleh dan cinderamata, toilet umum, dan usaha atau fasilitas lain yang terkait pariwisata.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline