Lihat ke Halaman Asli

Faham Feminisme Hancurkan Generasi Manusia

Diperbarui: 24 Juni 2015   23:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Faham Feminisme Hancurkan Generasi Manusia

Oleh

Wajiran, S.S., M.A.,

(Dosen Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta)

Adanya perubahan perilaku pada manusia, mengindikasikan adanya ketidakberesan dalam sistem keluarga. Pasalnya, keluarga adalah fondasi dasar bagi terbentuknya kepribadian manusia terutama generasi muda. Jika keluarga mengalami disfungsi sebagaimana yang seharusnya tentu akan menimbulkan efek yang tidak baik. hilangnya rasa malu, sopan santun, dan tatakrama dalam pergaulan mengindikasiskan bahwa mereka kehilangan contoh yang baik dalam kehidupan. Bahasa yang mereka gunakan adalah bahasa kasar, jorok dan mengandung sarkasme. Pakaian yang dikenakan juga semakin tidak teratur, yang perempuan semakin minimalis sedangkan yang laki-laki sudah banyak yang menyerupai perempuan. Generasi muda sekarang banyak yang kehilangan identitas sebagai generasi manusia berperadaban.

Kerusakan moral yang menjangkiti generasi muda saat ini dapat dilihat dari lahirnya berbagai gerakan atau komunitas yang cenderung destruktif. Lahirnya geng-geng di lingkungan kita menunjukan bahwa generasi ini mengalami disorientasi kehidupan. Pada usia muda harusnya mereka memiliki cita-cita dan angan-angan yang tinggi tetapi justru kenyataannya sebaliknya. Orientasi mereka pada kebahagiaan sesaat dan menginginkan semua serba instant. Walhasil, banyak generasi yang terjerumus dalam aktivitas yang kontraporduktif dengan masa depan mereka. Penyalahgunaan obat-obatan terlarang, bergabung di organisasi brandalan (geng motor, geng sekolah, dll) menjadi rumah utama mereka. Kecenderungan negatif ini sangat merugikan masa depan mereka. Tawuran antar sekolah merupakan dampak dari disorientasi ini. Mereka ingin menunjukan jati diri sebagai orang hebat dengan cara pandang yang salah. Karena sudah banyak korban bergelimpangan di kalangan pelajar, akibat tawuran antar sekolah. Jika hal ini dibiarkan tentu akan mengancam masa depan generasi bangsa dan negara ini.

Peran orang tua dalam keluarga

Terjadinya perubahan perilaku pada generasi muda sebenarnya sudah dapat dipastikan karena terjadinya disfungsi keluarga. Orang tua yang harusnya mendidik dan mengawasi perkembangan anak-anak justru meninggalkan mereka dengan menitipkan pada pembantu atau sekolahan. Padahal, secara psikologis masa kanak-kanak adalah masa-masa yang sangat membutuhkan kasih sayang dan perhatian dari orang tuanya. Mengingat keringnya kasih sayang orang tua terhadap anak-anak, menjadikan anak-anak kehilangan tempat bernaung dan tempat mengadu. Hal inilah yang menjadikan anak-anak lebih memilih bergabungnya pada kelompok-kelompok yang tidak jelas karena mereka membutuhkan tempat bernaung. Tempak mengekspresikan jati diri, sekaligus sebagai upaya aktualisasi diri terhadap lingkungannya.

Pembagian tugas dan tanggungjawab yang tidak jelas antara suami dan istri nampaknya menjadi sumber segala kekacauan dalam kehidupan ini. Pasalnya, saat ini kedua orang tua lebih memilih mengejar karir dan status sosial yang semuanya ditentukan dari kekayaan dan jabatan publik. Para orang tua terlena dengan aktivitas di luar rumah, sehingga menganggap keluarga hanya sebagai tempat singgah sementara. Walhasil anak-anak dikorbankan dengan menitipkan mereka di sekolah full day atau pada para pembantu. Dalam kondisi seperti inilah anak mengalamai kesalahan orientasi, karena tidak ada yang mengharahkan. Pembantu jelas tidak akan pernah dapat menggantikan peran orang tua, apalagi sekolah yang nota bene hanya mencari penghasilan semata. Kondisi ini tentu memiliki andil besar didalam membantuk generasi brutal yang sekarang ini kita lihat.

Bagaimana mungkin sebuah keluarga akan memiliki perhatian penuh terhadap anak turun jika semuanya (ayah-ibu) memiliki aktivitas dan beban kerja yang sama-sama berat. Hal ini tentu akan sagnat mengganggu perhatian orang tua terhadap anak-anak mereka. Seorang ibu yang fokus pada pekerjaan akan menyepelekkan pekerjaan rumah, termasuk di dalamnya membesarkan anak-anak mereka. Bisa jadi malah beban yang melelahkan di kantor akan diluapkan di dalam rumah dengan menjadikan anak dan keluarga sebagai sasaran. Jika hal ini terjadi tentu akan sangat memprihatinkan. Padahal suami yang memiliki tanggungjawab mencari nafkah sudah bekerja sebaik mungkin demi kelangsungan keluarga. Jika ini dibiarkan bukan hanya anak-anak yang menjadi korban, tetapi hubungan suami istripun akan mengalami kendala karena beban hidup yang semakin berat, bukan semakin ringan. Akibatnya lainya, tidak jarang salah satu dari mereka harus mencurahkan perhatian dan mencari perlindungan kepada orang lain (komunitas lain).

Menurut Suharsiwi (2012) virus materialisme saat ini sudah menjangkiti masyarakat islam. Dengan dalih untuk membantu suami, kaum perempuan juga bekerja di luar rumah. Ironisnya kadang keluarga yang sebenarnya sudah berkecukupan pun tetap bertekat mengorbankan anak-anak dan keluarga demi harga diri dan status sosial. Seorang istri yang bekerja di rumah dengan mengurus anak-anak dan keluarga dianggap hina dan tidak berharga. Bagi masyarakat modern manusia dianggap mulia jika bekerja di kantor atau memiliki jabatan publik dan kekayaan yang melimpah. Orientasi inilah yang saat ini sudah merusak keluarga muslim di dunia ini. Akibatnya, banyak kaum perempuan yang berani membangkang pada suami atas nama kesetaraan dan keadilan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline