Lihat ke Halaman Asli

Relatifitas Kebahagiaan dan Kedamaian

Diperbarui: 25 Juni 2015   03:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Mengejar Kebahagiaan dan kedamaian

Oleh

Wajiran, S.S., M.A.

Sholat jum’at kali ini saya rasakan ada perpedaan dengan Jum’at yang lainnya. Entah karena mendekati bulan puasa, terik matahari yang memancar terangtidak membuat manusia di bumi ini kegerahan. Sebaliknya, saya sendiri merasakan kedinginan. Saya juga tidak tahu apa karena kurang enak badan atau memang cuaca yang memang dingin.

Seperti Jum’at-Jum’at yang lain, saya selalu sempatkan untuk berpindah-pindah tempat untuk shalat jum’at. Hal ini saya lakukan karena ingin mendapatkan suasana baru, pengalaman baru dan semoga dapat saudara baru. Jatah jum’at kali ini adalah di sebuah masjid super besar yaitu Masjid Agung Bantul. Sebulan ini sebenarnya sudah dua kali seingatku shalat di masjid yang megah ini. Saya menyukai tempat ini bukan hanya karena besar dan megahnya gedung, tetapi karena suasana yang nyaman, tenang dan sejuk. Sirkulasi udara di dalam masjid yang bagus sangat mendukung, juga karena banyaknya pohon yang mengitari masjid yang megah ini. Hal inilah yang sering membuat saya merasa betah I’tikaf di masjid ini meskipun di siang hari.

Khusus hari Jum’at sering kuluangkan untuk berdiam diri. Itu sebabnya sebisa mungkin hari Jum’at tidak ada jadwal ngajar atau bekerja. Saya lebih memilih berdiam diri di masjid, berfikir dan berusaha sekuat tenaga untuk berdzikir. Setelah itu saya belajar menuliskan apa saja yang kaluar atau terbersit di dalam pikiran. Terinspirasi Rasulullah SAW yang hampir setiap saat meluangkan waktu ke Goa Hira untuk bertafakur. Jika Rasulullah dalam bertafakurbeliau mendapat wahyu, saya pun berharap dengan berdiam diri di masjid banyak inspirasi yang hadir di dalam pikiran ini. Tafakur atau berdiam diri di masjid atau di tempat sepi juga akan menghindarkan diri kita dari kebiasaan-kebiasaan buruk; menggunjing, berprasangka buruk, bahkan memfitnah dan lain sebagainya. Tafakur juga memberi kesempatan pada kita untuk bisa memikirkan masa depan dan strategi kehidupan kita.

Seperti biasa seusai shalat Jum’at juga kuusahakan ngobrol dengan seseorang. Saya tidak pilih-pilih dengan siapapun. Dari anak-anak, ibu-ibu, bapak-bapak dari petani, tukang becak, pedagang, sampai pejabat rasanya semua sudah pernah saya temui.*)

Jum’at kali ini saya bertemu dengan seorang paruh baya yang berumur kurang lebih 45 tahun. Dia berasal dari luar jawa, meskipun asal-usul orang tuanya dari Jogja juga. Dia sebelumnya adalah seorang professional di sebuah bank swasta. Tapi sekarang lebih memilih menghabiskan hidupnya untuk berjihad di jalan Allah. Ia melepaskan jabatannya sebagai seorang menejer, dengan mengajukan pension dini. Dia lebih memilikh fokus mengelola beberapa tokoh kelontong yang ia serahkan sepenuhkan kepada karyawan. Dan hanya sebulan sekali menerima laporan tentang keuntungan dan barang-barang harus dibeli kembali.

Setelah menduduki puncak kejayaannya (sebagai Manager wilayah). Kedudukan itu sebenarnya sudah lebih dari cukup untuk ukuran seperti dia. Rumah, kendaraan dan berbagai kemewahan dunia sudah dimilikinya. Cuma sayang, dia mengatakan bahwa orientasi hidupnya yang penuh dengan opsesi kemewahan itu tidak menjadikannya bahagia.

Beberapa tahun yang lalu tepatnya saat dia hendak dipromosikan ke level yang lebih tinggi. Ia mengalami pengalaman hidup yang cukup berat. Persaingan di dunia kerja ternyata menyadarkannya bahwa manusia bisa melakukan apa saja untuk meraih gengsi sosial. Beberapa pesaing seangkatan dan seniornya banyak melakukan kecurangan bahkan memfitnahnya dengan berbagai cara yang sangat keji.

Dari pengalaman ini dia baru menyadari bahwa kekayaan, kedudukan yang tinggi, dan kemapaman ekonomi bukanlah jaminan atas kebahagiaan. Terbukti para senior yang sudah bergelimang harta dan tahta pun masih mau melakukan berbagai kecurangan demi opsesi pribadi. Karena kesadaran inilah ia pun dengan lapang dada tidak jadi mencalonkan diri.

Pengalaman atas pencalonannya itu justru selalu menghantui kehidupanya. Ia berfikir bahwa ternyata begitu banyak orang yang serakah di dunia ini. Banyak orang yang rela mengorbankan agama untuk kepentingan dunia. Ironisnya, tidak jarang terjadi juga di lembaga agama yang dikelola dengan model politik kotor yang penuh tipu daya. Menghujat, memfitnah, menggunjing, dan pembunuhan karakter juga terjadi di lembaga-lembaga seperti ini.

Pelajaran berharga inilah yang kemudian mendorongnya untuk segera mengakhiri perang batinnya. Ia ingin fokus menghabiskan sisa hidupnya untuk kepentingan akherat. Selain mengelolan 15 toko kelontong ia fokus belajar agama dan berdakwah keliling nusantara. Tidak jarang ia pun mengajak seluruh keluarganya untuk mengikuti pengajian-pengajian akbar atau berkunjung ke pusat-pusat keagamaan di seluruh nusantara.

Kini ia benar-benar merasa lega dan puas dengan kehidupannya. Tidak ada lagi yang diharapkan di dalam kehidupan dunia ini kecuali menghabiskan sisa hidup untuk beribadah. Ia berusaha memberikan kebaikan kepada sesama, memotong penghasilannya sepuluh persen untuk agama dan 75 % aktivitasnya adalah untuk ibadah. Subhanallah.

*) Maaf ceritanya agak mbulet gak karuan krn nulisnya di kendaraan, tapi semoga ada manfaatnya

Masjid Agung Bantul, 22 Juni 2012

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline