Filosofi Memancing
(Kritik Terhadap Larangan Berjilbab)
Oleh
Wajiran, S.S., M.A.
(Kepala Pusat Pengembangan Bahasa Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta)
Sebagaian besar dari kita tentu sudah paham apa itu mancing atau memancing. Namun, tentu tidak semua orang paham bahwa memancing memiliki filosofi yang sangat erat dengan kehidupan kita. Secara sederhana mancing diartikan menangkap ikan dengan cara memasang umpan pada sebuah kail, yang disebut pancing. Oleh karena itu kegiatannya disebut dengan memancing. Dengan demikian, memancing dapat diartikan sebagai suatu upaya untuk menarik (hasrat, minat, dan juga syahwat) dalam hal ini ikan, agar memakan umpan yang diberikan.
Umpan yang digunakan untuk memikat tentu adalah umpan yang menarik, terutama secara fisik. Daya tarik umpan yang dipasang sangat mempengaruhiefektifitas memancing. Karena umpan yang digunakan oleh pemancing tidak hanya mengandalkan rasa, tetapi juga bentuk. Umpan yang digunakan kadang hanya karet imitasi yang dibuat mirip sesuatu yang disukai oleh ikan. Selain umpan yang menarik, diperlukan strategi atau cara-cara tertentu untuk mendapatkan ikan secara maksimal. Karena itu, tidak jarang si pemancing melakukan tindakan-tindakan akrobatik untuk menarik calon mangsanya (ikan).
Penulis tidak bermaksud mengaitkan filosofi mancing, dengan kualitas kepribadian kita secara individu. Meskipun memang, aktivitas mancing ini sangat erat kaitannya dengan menejemen diri. Dalam memancing kita akan menggembleng diriakan; kesabaran, ketekunan, ketabahan (menghadapi ujian, tantangan dan rintangan), keseriusan, kedisiplinan dan juga keyakinan akan sesuatu yang akan didapat. Karena orang yang tidak yakin akan adanya ikan yang menjadi sasaran sudah dapat dipastikan tidak akan mendapatkan apa-apa.
Tulisan ini lebih fokus pada persoalan sosial yang selama ini banyak diperbincangkan, terutama di negara barat. Yaitu pelarangan kaum perempuan menggunakan jilbab.
Lalu, apa kaitannya aktivitas memancing dengan pelarangan jilbab? Sebelum menjawab pertanyaan ini. Penting saya gambarkan bahwa kaum laki-laki adalah suatu makhluk yang penuh gairah. Laki-laki dikodratkan oleh Tuhan sebagai makhluk yang agresif, dinamis, dan cenderung posisif terhadap segala sesuatu (terutama terhadap istri/perempuan). Laki-laki adalah makhluk yang penuh semangat (bisa juga disebut penuh nafsu). Untuk itu, dalam kaitannya dengan logika memancing, kaum laki-laki diasosiasikan sebagai ikan yang sedang kelaparan.
Nah, kaum laki-laki yang cenderung agresif ini tentunya akan sangat riskan jika melihat hal-hal yang dapat memancing nafsu syahwatnya. Karena kondisi inilah maka kaum perempuan harus menjaga auratnya, agar tidak dilihat pemangsa (kaum laki-laki). Kaum perempuan adalah permata yang paling mahal. Karena itu harus dijaga agar tidak menjadi mangsa kaum laki-laki. Jika kaum wanita dilepas begitu saja, apalagi tidak dibungkus dengan pakaian yang menutupi auratnya, tidak menutup kemungkinan ia akan menjadi korban “kebuasan” laki-laki.
Mulai dari kesadaran inilah kita bisa mengasosiasikan bahwa kaum perempuan yang tidak menutup aurat samahalnya dengan memancing. Memancing perhatian, memancing gairah laki-laki atau yang disebut dengan nafsu syahwat. Sekuat apapun laki-laki mengendalikan diri, jika melihat perempuan cantik tentu akan terpengaruh. Apalagi perempuan itu memperlihatkan bagian-bagian tertentu dari tubuhnya.
Itu sebabnya kita harusnya prihatin dengan model pakaian yang saat ini digemari kaum remaja putri. Pakaian terutama yang sudah terpengaruh barat, bukanya menutup aurat, tetapi justru menunjukan sensualitas tubuh pemakainya. Pakaian ketat atau you can see sangat digemari remaja putri di negeri ini. Pakaian seperti ini bukan hanya membentuk lekuk tubuh, tetapi juga menunjukan bagian-bagian yang bisa mengandang perhatian kaum adam. Bagian dada, paha, dan betis sering jadi “umpan” kaum hawa untuk memancing perhatian laki-laki. Tindakan seperti ini tentu sangat bertentangan dengan ajaran islam. Islam menganjurkan agar wanita menutup auratnya, agar bagian-bagian terlarang ini tidak merangsang lawan jenis, yang dapat menimbulkan tindakan-tindakan yang tidak diinginkan.
Kebudayaan kita memang sangat berbeda dengan orang-orang barat. Perbedaan itu bukan hanya dissebabkann oleh faktor agama, tetapi juga kebudyaan. Indonesia adalah negera yang terkenal sangat ramah, santun, dan sopan. Tiga predikat ini menunjukan suatu keterhormatan bagi pelakunya. Ramah itu berarti tidak sombong dan suka bergaul dengan orang lain. Santun memiliki arti baik kata-kata maupun tindakan tidak menyinggung orang lain. Karena setiap tindakan harus didasarkan pada kelemahlembutan. Sedangkan sopan merupakan bagian dari cara mengekspresikan diri dalam berhubungan dengan orang lain. Oleh karena itu, sikap sopan sering digabungkan dengan santun, sehingga disebut sopan-santun. Yaitu suatu tindakan yang lemah lembut, sehingga tidak menyakiti persaan orang lain.
Pengertian yang terakhir ini menunjukan cakupan yang lebih pada luaran yaitu tata cara berbicara, ekspresi (body language) dan juga pakaian. Orang yang sopan adalah orang yang memiliki ketiga ciri ini. Oleh karena itu, gaya bicara, ekspresi dan berpakainnya haruslah tidak menimbulkan sense tertentu (negative) pada orang lain. Dari sinilah sebenarnya kita bisa menilai mana pakaian yang baik (yang menutup aurat /jilbab) atau pakaian yang mengumbar aurat/buka-bukaan. Orang yang berakal sehat, meskipun tidak paham agama tentu akan memilih yang menutup aurat. Karena di situlah terdapat kepribadian dan harga diri seseorang.
Keinginan menutup aurat sebenarnya adalah kodrat manusia, karena manusia memiliki rasa malu. Secara kodrat manusia berakal akan merasakan ketidaknyamanan ketikan bagian-bagian tubuh itu dilihat orang lain. Namun, kenyataan inilah yang nampaknya mulai terkikis dari pikiran manusia modern saat ini. Walhasil, kaum hawa justru seperti berlomba-lomba menentang kodrat itu. Di jalanan, tempat perbelanjaan, juga tempat-tempat umum, sudah tidak asing kaum perempuan memamerkan auratnya.
Saya tidak tahu pasti apakah kebanyakan kaum hawa (yang suka pakai you can see dan sejenisnya) sudah terjangkit ekshibisionisme? Dalam Kamus Ilmiah Populer, Ekshibisionisme diartikan suatu penyakit kejiwaan yang dicirikan dengan kesukaan menunjukan alat kelamin (kemaluan) untuk mendapat kepuasan. Pasalnya, aurat dalam istilah agama sebenarnya adalah kemaluan, yaitu sesuatu yang harus ditutupi. Tetapi kenyataannya, bukanya ditutupi tetapi malah dipamerkan. Kita pun jadi kesulitan membedakan mana yang artis dan mana yang bukan. Karena pakaian para artis (yang minimalis) sudah dipakai harian oleh sebagian kaum hawa. Ironisnya lagi, pakaian yang minimalis ini bukan hanya dipakai para remaja yang memang sedang cari perhatian lawan jenis, tetapi juga ibu-ibu rumah tangga. Inilah sebuah bukti hilangnya pertimbangan nilai etik dan estetik dalam hal perpakaian kaum hawa saat ini.
Bertolak dari kenyataan inilah, sesungguhnya kaum perempuan (yang membuka aurat didepan umum) sama halnya sedang memancing kaum laki-laki. Memancing perhatian, memangcing syahwat, dan memancing libodo. Oleh karena itu, wajar jika sampai terjadi pelecehan, atau bahkan pemerkosaan. Karena memang sudah banyak kaum perempuan yang memancing kaum laki-laki yang sedang “kelaparan” ini.
Pelarangan jilbab
Fenomena larangan berjilbab sudah lama terjadi, terutama di negara-negara yang penduduknya mayoritas non-muslim. Gagasan akan pelarangan berjilbab ini saat ini bahkan sudah menjalar di beberapa negara islam. Turki misalnya, meskipun di negeri ini berpenduduk muslim (bisa dikatakan mayoritas), tetapi karena pemerintahanya lebih berpaham skuler, maka jilbab sering menjadi persoalan besar. Pada masa kepemimpinan Mustafa kemal Ataturk negara Turki sangat liberal. Saking leberalnya istri presiden mencampakan jilbabnya. Sikap istri presiden ini dianggap sebagai role model bagi masyarakat modern warga turki.
Larangan pemakaian jilbab sebenarnya adalah persoalan politis. Pakaian jilbab dianggap akan merepresentasikan komunitas tertentu yang dikhawatirkan akan mempengaruhi orang lain untuk meniru. Meskipun kadang pelarangan ini sering dipolitisir atas pertimbangan keamanan.
Ironis memang, saat mereka (Barat) menggaungkan hak asasi manusia, tetapi mereka sendiri melanggar hak-hak kemanusiaan dengan melarang orang memakai jilbab. Berpakaian adalah hak asasi setiap orang. Dengan alasan apapun tidak seorang pun berhak untuk melarang seseorang memakai pakaian tertentu, apalagi pakaian itu adalah pakaian yang wajar alias untuk menutup badan.
Istri presiden Turki (Emine Erdogan) adalah sebuah contoh yang kiranya bisa diambil pelajaran bagi kita kaum muslim saat ini. Sebagai seorang istri presiden ia benar-benar memanfaatkan kedudukannya untuk menyuarakan nilai-nilai islam. Ia konsisten dengan mengenakan jilbab kemana saja ia pergi. Ia nampaknya ingin melakukan perlawanan terhadap pendahulunya (Istri Kemal Atuturk). Meskipun mendapat banyak kecaman bahkan cemoohan, ia tetap konsisten dengan jilbabnya. Sikap pemimpin atau istri pemimpin seperti ini harusnya menjadi contoh bagi kita semua. Menjadi umat muslim harus teguh dengan keyakinan. Jangan hanya karena ingin dianggap moderat, atau modern kita sering mengalahkan aqidah demi sanjungan dan pujian orang lain.
Kita hanya berharap semoga para pemimpin kita mampu memberikan contoh yang terbaik bagi rakyat dan generasinya. Karena dari merekalah generasi penerus kita bercermin untuk menata kehidupan mereka dimasa mendatang. Maka dari itu, harusnya yang dilarang bukanlah pemakaian jilbab, tetapi pakaian-pakaian yang tidak masuk standar kemanusiaan itu. Yaitu pakaian yang yang mengumbar sensualitas dan seksualitas, yang dapat mengundang syahwat lawan jenisnya. Wa Allah a’lam.
Yogyakarta, 2 Juni 2012
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H