Lihat ke Halaman Asli

Kanibalisme Dalam Dunia Perniagaan Kita

Diperbarui: 25 Juni 2015   04:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kanibalisme Dalam Dunia Perniagaan Kita

Oleh

Wajiran, S.S., M.A.

(Kepala Pusat Pengembangan bahasa Universitas Ahmad Dahlan)

Sebelum menjelaskan tentang apa dan bagaimana wajah perbisnisan kita. Terlebih dahulu penting kiranya memahami pengertian kanibalisme. Kanibalisme berasal dari kata kanibal yang diartikan dalam beberapa pengertian, meskipun semua memiliki makna yang sama, yaitu memakan sesama jenis. Untuk itu ada tiga definisi umum mengenai pengertian kanibalisme ini; Pertama, orang yang suka makan daging manusia;kedua, binatang yang suka membunuh dan memakan daging binatang lain yang sejenis; ketiga, ternak yang suka menggigit temannya sampai luka. Oleh karena itu, kata kanibalisme dalam Kamus Ilmiah Populer diartikan sebagai kekejaman atau kebiadapan terhadap sesama.

Dari pengertian kanibalisme, kita dapat membandingkan dengan model perniagaan di negara kita. Apakah model bisnis di negeri kita ada kemiripan dengan pengertian kanibalisme? Dan bagaimana perbandingannya dengan bisnis di negara maju (dalam hal ini Amerika Serikat), yang notabene tidak berlandaskan islam?

Pengertian bisnis atau perniagaan dalam Islam diartikan sebagai sebuah usaha untuk mendapatkan uang/barang dari jasa yang sudah dilakukan. Bisnis, bersifat tidak memaksa, karena bisnis ditujukan untuk saling membantu dan harus menguntungkan keduabelah pihak. Bisnis yang baik adalah bisnis yang jujur, adil dan tidak mengekang atau memaksa satu sama lain. Meskipun di dalam bisnis ada kesepakatan-kesepakatan yang harus ditaati kedua belah pihak. Mekipun mengikat, tetapi dengan syarat tidak ada yang merasa dirugikan.

Berikut ini beberapa ayat yang menyarankan agar perniagaan yang kita lakukan tidak merugikan yang lain. Tetapi sebaliknya harus memberi keuntungan atau setidaknya kemudahan bagi orang lain.

Bertolong menolonglah di atas kebaikan dan ketaqwaan.” (Al Maidah: 2)

“Berbuat baiklah kepada kedua ibu bapa dan kaum kerabat dan anak-anak yatim serta orang-orang miskin dan katakanlah kepada sesama manusia kata-kata yang baik dan dirikanlah sembahyang serta berilah zakat.” (Al Baqarah: 83)

“Yaitu orang yang mendermakan hartanya pada masa senang dan susah dan yang menahan kemarahannya dan orang-orang yang memaafkan kesalahan orang. Dan Allah mengasihi orang-orang yang berbuat perkara-perkara yang baik.” (Ali Imran: 134)

Dalam beberapa kasus yang kita temui di lapangan, ternyata system perniagaan kita tidak jauh berbeda dengan pengertian kanibalisme ini. Pihak penjual dan pembeli sering tidak memiliki komitmen yang jelas. Hal ini terutama untuk lembaga-lembaga yang berkaitan dengan penjualan jasa, bank, perkreditan, dll. Di bidang ini, sering perjanjian hanya diketahui oleh pihak penjual. Penjual menjadi penguasa yang menyodorkan penawaran dengan sedikit memaksa dan tanpa memberi kesempatan kepada pembeli untuk mempertimbangkan apakah perjanjian itu saling menguntungkan atau malah merugikan dirinya. Hal ini disebabkan karena perjanjian umumnya hanya dilakukan saat calon konsumen datang ke kantor (pihak penjual). Pihak penjual sering hanya menjelaskan keuntungan-keuntungan saja, tetapi jarang menyebutkan konsekuesi dari perjanjian itu. Dalam kontek seperti ini, pembeli dianggap sebagai mangsa yang dibujuk dengan berbagai cara.

Dalam kondisi seperti, calon konsumen tidak bisa berfikir logis, karena iming-iming dan bujukan dari pihak penjual. Alhasil, konsumen tidak sempat mempelajari atau mempertimbangkan segala resiko perjanjian yang harus ditandatangani saat itu juga. Itu sebabnya, banyak diantara para nasabah atau konsumen merasa keberatan bahkan kecewa dengan beban yang harus dia tanggung selama melakukan transaksi. Padahal, konsumen tidak memiliki hak untuk menolak, membatalkan ataupun melepaskan diri dari akibat tanggungjawab perjanjian yang sudah ditandatangani. Lebih memprihatinkan lagi, pihak penjual sering memberikan pelayanan yang berbeda dengan perjanjian yang sudah disepakati, dan ini tidak bisa berlaku sebaliknya.

Saya tidak tahu persis apakah kita memang lebih kanibalis (bersifat mengorbankan sesama) di banding barat? Dalam beberapa transaksi yang pernah penulis lakukan dengan beberapa perusaan asing (Amerika), saya tidak menemukan adanya pemaksaan sedikitpun. Dalam beberapa hal ketentuan perjanjian yang di lakukan perusahaan asing, lebih manusiawi dan sangat menghargai konsumen. Ada beberapa hal yang perlu kita perhatikan dalam bisnis di beberapa perusahaan Amerika.

Pertama, Sebelum melakukan perjanjian, konsumen akan di suguhkan dengan ketentuan (term condition) yang harus dipelajari terlebih dahulu. Dalam hal ini konsumen diberi waktu untuk mempelajari terlebih dahulu segala kondisi dan ketentuan yang akan disepakati bersama. Jika calon komsumen bersedia, maka transaksi dilanjutkan. Tetapi jika calon pembeli merasa keberatan, maka tidak akan ada iming-iming atau rayuan untuk melakukan transaksi, apalagi sampai memaksa.

Kedua, perusahaan asing sangat menghargai pengaduan pembeli. Suatu contoh dalam segi pengaduan barang yang sudah di beli. Perusahaan di Amerika (mungkin juga tidak semua), barang yang sudah dibeli dan ternyata tidak sesuai dengan yang diharapkan bisa dikembalikan (meskipun tidak ada kerusakan sama sekali). Barang yang dikembalikan bisa ditukar dengan barang lain atau pun uang kembali sesuai harga yang sudah dibayarkan. Meskipun, ada beberapa perusahaan yang membatasi waktu pengembalian.

Perlakuan seperti tergambar di atas akan sangat kontras dengan apa yang ada di negeri kita. Rasanya sangat jarang (sepengetahuan penulis) toko yang menuliskan di notanya barang bisa dikembalikan. Tetapi justru sebaliknya kalimat dalam nota akan selalu berbunyi; “barang yang sudah dibeli tidak dapat di kembalikan”. Kata-kata ini menunjukan betapa si konsumen akan sangat dirugikan ketika barang yang dibeli tidak sesuai dengan yang diharapkan.

Ketiga, saat perusahaan bekerjasama atau melibatkan orang ketiga, jasa pengiriman seumpamanya. Pengiriman yang tiba tidak sesuai dengan ketentuan waktu yang sudah dijanjikan oleh penjual, konsumen dapat malakukan complain. Jika ada kesalahan dari pihak penjual, mereka bertanggungjawab mengembalikan uang lebih besar dari harga barang yang sudah dibeli, dengan syarat barang harus di kembalikan. Di samping itu, jika barang yang sudah dibeli tidak sampai tujuan lebih dari tiga kali lama waktu yang dijanjikan, maka penjual bertanggungjawab mengembalikan sejumlah uang sekaligus denda sesuai dengan kesepakatan.

Dalam kontek model perniagaan di Amerika ini, konsumen nampaknya mendapat tempat yang sangat istimewa. Karena pelayanan dan kepuasan konsumen sangat diperhatikan oleh penjual. Nah, dari sini baru dapat kita bandingkan model perniagaan di negeri kita. Amerika (dalam hal ini), ternyata lebih islami daripada kita.

Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk mendukung semua perniagaan model Amerika secara habis-habisan. Tetapi kiranya ada hal-hal yang perlu kita pelajari agar perniagaan kita tidak seperti kanibalisme. Mengingat negeri kita berpenduduk mayoritas muslim, tentunya bisnis yang memanusiawikan konsumen sangatlah penting. Karena model bisnis yang islami tentu akan memberikan keuntungan yang sangat besar bagi kedua belah pihak. Dan keuntungan itu bukan hanya untuk di dunia, tetapi juga di akherat. Semoga! Wa Allah a’lam.

Warung Mie Ayam, 1 Juni 2012

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline