Lihat ke Halaman Asli

Gurita Korupsi di Negeri Kita

Diperbarui: 25 Juni 2015   05:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Gurita Korupsi di Negeri Kita

Negeri kita yang gemah ripah loh jinawi ini ternyata dihuni oleh para pecundang dan para koruptor yang kelaparan dan rakus. Bayangkan saja, dari pejabat yang paling tinggi sampai yang paling rendah semua terlibat korupsi. Meskipun, mereka berusaha menutup-nutupi tetap saja ada korupsi dengan berbagai model yang kita temui. Lihat saja berita-berita yang disiarkan di televesi bahwa kasus kasus korupsi sudah seperti hal yang biasa terjadi di negeri ini. Ironisnya, antara hukuman yang dijatuhkan dengan jumlah dana yang dikorupsi sangat tidak setimpal. Padahal jika pelanggaran itu dilakukan oleh rakyat kecil hukumanan akan jauh lebih berat dibanding para koruptor kelas kakap sekalipun. Inilah ketimpangan sosial yang terjadi di negeri ini.

Model korupsi yang ada di negeri ini bermacam-macam ada yang dengan model penyamaran sampai yang terang-terangan. Kasus-kasus besar yang sering terungkap di media massa hanyalah sebagian kecil dari seluruh model pemalakan yang ada di negeri ini. Jika para pejabat mampu memanipulasi korupsi proyek dengan nama perusahaan fiktif, atau perusahaan sendiri atas nama orang lain. Maka kita pun akan menemukan model lain di lembaga yang lain pula. Lihatlah bagaimana jika kita ingin mendapatkan SIM (surat ijin mengemudi), maka kita akan tahu bahwa pasti akan dipersulit. Bayangkan saja jika ujian SIM yang normal soalnya sangat tidak proporsional dan tidak masuk akal, karena dari sejumlah yang mengikuti tes normal pasti yang lolos tidak lebih dari 2 % saja. Hal ini karena soalnya yang diberikan tidak sesuai dengan apa yang harusnya merekaketahui ketika mengendarai kendaraan. Tetapi di sisi lain, jika kita mengikuti test massal yang diselenggarakan lembaga kursus yang notabene memiliki perjanjian khusus dengan pejabat yang bersangkutan, maka soalnya akan lebih mudah. Bukan hanya itu, kita pun akan diberitahu dan diterangkan dengan gamblang oleh petugas penjaga ujian. Hal ini apa? Karena dengan test massal anda sudah membayar 100 kali lipat lebih mahal dari ujian biasa.

Itu baru contoh kecil yang terjadi di massarakat kita. Mungkin sebagian besar dari kita pernah mengalami hal ini. Namun yang disayangkan tidak ada seorang pun yang berani mengunkap persoalan ketimpangan dan kejahatan struktural ini. Padahal tentunya hal ini sudah terjadi turun temurun.

Jika beberapa lembaga sudah berani melakukan hal ini secara terang-terangan, kita pasti akan berfikir bagaimana lembaga-lembaga lain yang secara sembunyi-sembunyi melakukan pemerasan terhadap rakyat. Pasti jumlahnya akan jauh lebih banyak. Karena yang terang –terangan saja masyarakat tidak berani memprotes, apalagi yang sembunyi-sembunyi.

Budaya malu memang penting. Tetapi dalamkontek keadilan harusnya kita tidak perlu malu atau takut dengan persoalan-persolan seperti ini. Mungkin bagi sebagian orang itu juga sangat membantu, tetapi apakah tidak ada cara yang lebih manusiawi untuk memberikan pelayanan yang memadai bagi masyarakat. Toh mereka para pejabat dan petugas itu sudah dibayar mahal oleh masyarakat dengan berbagai macam bayaran pajak yang telah mereka keluarkan. Apakah mereka juga harus diperas dengan system birokrasi yang mencekik rakyat ini?

***

Saat ini adalah era keterbukaan. Era reformasi harusnya memberi peluang keterbukaan bagi setiap masyarakat untuk mengungkap ketidakadilan di negeri ini. Setiap masyarakat harus berani menyampaikan gagasan atas ketidakadilan yang dialami sehingga arus budaya yang koruptif tidak semakin menggurita di negeri ini. Karena kalau lembaga yang melakukan kecurangan seperti ini dibiarkan, maka tidak menutup kemungkinan lembaga lain akan meniru dengan model proyek-proyek koruptif yang hanya menguntungkan beberapa pihak.

Sudah saatnya era reformasi ini dibersikan dari model-model babarbarisme, yang mencekik rakyat. Pejabat adalah pelayan masyarakat, jadi sudah sepantasnyalah mereka bekerja dan menyelesaikan tugasnya sesuai dengan tanggungjawab yang diemban tampa harus menunggu mendapat sogokan agar urusan cepat selesai. Mental-mental seperti inilah yang menjadikan bangsa kita bangsa yang koruptif. Mental kita adalah mental pengemis, sehingga menjadikan negera kita tidak pernah maju. Negara yang kaya raya ini tetap saja miskin, karena para pejabatnya selalu mengebiri rakyat kecil yang memang sudah sulit untuk hidup. Semoga tulisan ini dapat menyadarkan bagi kita semua, bahwa apapun peran kita dan posisi kita, kita adalah pelayan untuk orang-orang yang sudah membayar mahal pekerjaan kita. Wallahua’lamubishawab..

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline