Lady Gaga dan Politik Seksualitas Perempuan
Oleh
Wajiran, S.S., M.A.
(Dosen Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta)
Awalnya saya tidak berniat menuliskan apapun tentang Lady Gaga. Karena bagaimanapun saya sama sekali tidak pernah tahu tentang dirinya, apalagi prestasinya. Hanya saja saya pernah dibikin penasaran, sewaktu mempelajari pidato Barack Obama, sering nama Lady Gaga disebut-sebut pidatonya. Kedua, saat sesuatu yang kontraversial itu ditanggapi terlalu massif, maka yang terjadi adalah kemenangan bagi yang bersangkutan terhadap wacana public yang seharusnya kita eliminasi. Lihatlah bagaimana Inul Daratista, kalau tidak salah menyebut nama. Inul pernah ditolak dan dihujat mati-matian oleh sebagian masyarakat, tapi justru semakin berkibar di negeri ini. Ironisnya, orang yang tadinya dihujat dengan goyang ngebornya itu lama-kelamaan justru ditokohkan.
Kenyataan ini tentu akan sangat kontraproduktif dengan apa yang kita harapkan. Sesungguhnya sudah banyak “tokoh” yang kata-kata, tindakan dan aktivitasnya sangat mengganggu stabilitas negeri ini. Mereka yang nota bene jadi public figure ini merasa benar dengan segala pemikiran dan aktivitasnya, karena paham dan ideologi mereka yang tidak searah dengan nilai-nilai luhur bangsa apalagi agama. Lihatlah dalam kasus Ayu Utama, NH. Dini, dengan karya sastranya. Mereka lebih banyak mengekspos seksualitas yang harusnya ditutupi. Rahma Azhari, Julia Peres, dan Dewi Persik, dalam kartisan, mereka menjual sensualitas tubuh demi mendapatkan keuntungan.
Secara faktual, Lady Gaga sebenarnya mungkin tidak se-hot Julia Peres, ataupun para penyanyi dangdut di kampung-kampung. Tetapi karena secara politis, Lady Gaga adalah artis tingkat dunia, maka dampak psikologis yang ditularkan akan sangat mengglobal. Jika antis dangdut yang ada di kampung, akrobat-akrobat seronok mereka tidak akan sampai mempengaruhi seluruh wilayah Indonesia, tapi jika itu yang manggung adalah Lady gaga, maka seluruh rakyat Indonsia bahkan mungkin dunia akan mengakses dan menikmati tampilan akrobatik sang artis. Itulah yang perlu kita pertimbangkandi dalam menerima setiap tamu yang berkunjung ke negeri kita.
Pemboikotan terhadap kedatangan Lady Gaga hendaknya dijadikan pelajaran oleh pihak yang berwajib atas perijinan yang lain. Karena sudah jelas Negara kita adalah Negara yang berdaulat, secara kultur berbeda dengan barat, juga Negara hukum. Oleh karena itu, sebelum pertunjukan yang diijinkan itu membawa perpecahan atau bahkan huru hara, pihak berwajib harus bertindak tegas. Setiap pertunjukan yang berbau pornografi, kekerasan dan sara harus segara ditolak! Hal ini agar tidak terjadi konflik horizontal. Karena jika ini terjadi maka rakyat kitalah yang akan mengalami kerugian. Keuntungan dari tampilnya Lady Gaga bagi negeri (atau bahkan segelintir orang di negeri ini), tentu tidak sebanding dengan dampak psikologis bagi generasi muda yang ada di negeri ini.
Selain aparat berwajib, yang memiliki kepentingan besar terhadap generasi atau umat di negeri ini adalah organisasi kemasyarakatan dan keagamaan. Organisasi-organisasi ini memiliki tanggungjawab untuk ikut mengawal pemerintah di dalam menjaga dan melindungi rakyatnya dari penjajahan moral. Oleh karena itu sudah sepantasnya para ulama, kyai, dan juga akademisi memberikan dukungan (jika terpaksa perlawanan) terhadap maraknya kegiatan dan aktivitas yang dapat merusak moral bangsa ini. Wacana can pemikiran untuk mempertahankan identitas bangsa ini sangat penting untuk membentengi hilangnya identitas bangsa, yang berarti kebinasaan bagi bangsa yang makmur ini. Wallahu’alamubishawab.
Yogyakarta, 21 Mei 2012
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H