Lihat ke Halaman Asli

Kesalahan Orientasi Pendidikan Kita

Diperbarui: 23 Juni 2015   22:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

KESALAHAN ORIENTASI PENDIDIKAN KITA

Oleh

Wajiran

(Mahasiswa Program Doktor University of Tasmania-Australia &

Dosen Fakultas Sastra Budaya dan Komunikasi UAD)

Selebrasi berlebihan yang dilakukan anak-anak SLTA atas kelulusan pada Ujian Nasional menjadikan kita bertanya-tanya, apa yang mereka dapatkan selama di sekolah. Apakah sekolah tidak pernah mengajarkan pelajaran agama, norma dan tata krama pada mereka?

Perayaan kelulusan yang harusnya dinikmati dengan suka cita, tetapi justru dilakukan dengan tindakan-tindakan yang berlebihan bahkan jauh dari nilai-nilai kemanusiaan. Tindakan corat-coret baju seragam dan kebut-kebutan bahkan tawuran sering mewarnai selebrasi kelulusan di negeri ini.

Lebih ironis lagi, di kota malang tersiar kabar tidak sedap bahwa anak-anak SLTA melakukan aktivitas free sex untuk merayakan kelulusan. Hal itu dilihat dari trend peningkatan penjualan kondom di kota itu. Menurut penuturan beberapa penjaga apotek, peningkatan penjulan kondom meningkat drastis menjelang Ujian Nasional. Di kota Maluku, sekelompok anak perempuan ketahuan sedang membuka baju diangkutan umum. Mereka disinyalir akan pergi ke suatu tempat untuk merayakan kelulusan mereka.

Semua kejadian itu tentu tidak lepas dari kesalahan orientasi pendidikan di negeri ini. Sekolah seolah hanya mengajarkan materi pelajaran semata, tanpa mengajarkan nilai-nilai kemanusiaan. Sekolah hanya seperti pabrik pembuat produk mati dengan tidak memperhatikan aspek kemanusiaan mereka yang memiliki rasa dan hati nurani.

Lembaga pendidikan dan ironisnya orang tua, sering hanya mengejar nilai tanpa memperhatikan aspek moral mereka. Hasilnya, pelajaran agama, norma dan kepribadian sering diabaikan karena tidak masuk dalam ujian nasional. Mereka menganggap pelajaran ini tidak penting bagi mereka. Itulah kesalahan pemahaman mereka. Banyak yang tidak menyadari bahwa sesungguhnya dalam proses pendidikan itu harus mencapai tiga kecerdasan; yaitu intelektual, emosional dan spiritual.

Kecerdasan intelektual didapatkan dan diukur dari nilai ujian mata pelajaran yang ada di nilai raport mereka. Secara intelektual kita mudah mengetahui karena dari nilai yang mereka dapatkan kita sudah bisa memprediksikan bagaimana kemampuan intelektual anak-anak kita. Namun demikian, untuk kecerdasan emosional dan spiritual tidak semudah kita mengukur kemampuan intelektual. Kemampuan emosional adalah kemampuan seseorang menyelesesaikan setiap persoalan yang dihadapi dengan kondisi tenang. Tidak mudah putus asa, tidak mudah menyerah atau frustasi dengan berbagai kendala yang dihadapi. Sedangkan kemampuan spiritual lebih menyempurkan kemampuan emosional. Seseorang dengan kemampuan spiritual yang tinggi akan lebih kuat menghadapi berbagai persoalan, bahkan akan lebih suka berkorban karena pemahaman bahwa setiap tindakan yang dilakukan akan mendapat balasan nanti di akherat.

Kejadian memalukan yang dilakukan oleh para remaja di atas tentu tidak akan pernah terjadi jika mereka memiliki kecerdasan emosional dan spiritual yang baik. Seperti pada zaman penulis akan menempuh ujian nasional, para guru-guru meminta kita berpuasa dan memperbanyak ibadah sunnah agar Tuhan memberikan kemudahan saat mengikuti ujian. Saat kita merayakan kelulusan, kita lakukan dengan membagikan seragam sekolah dan sedikit harta yang kita miliki kepada orang-orang tidak mampu sebagai wujud rasa syukur atas kelulusan kita. Pada saat itu, sama sekali tidak ada yang namanya ugal-ugalan, corat-coret baju apalagi kebut-kebutan dan tawuran.

Perbedaan yang mencolok ini tentu ada yang salah dengan sistem pendidikan kita saat ini. Orientasi pendidikan yang hanya mengejar nilai telah membuat anak didik kita seperti manusia robot. Lembaga pendidikan kita tak ubahnya seperti pabrik yang membuat mereka prdoduk cerdas tetapi tidak memiliki hati nurani. Tidak bisa membedakan baik dan buruk. Tidak memiliki empati, tidak bisa merasakan penderitaan orang lain. Walhasil, jadilah mereka manusia tanpa hati nurani yang inginnya mencari keuntungan diri sendiri.

Masa SLTA adalah masa yang sangat labil. Pada masa ini mereka membutuhkan bimbingan dan perhatian yang intens. Pada masa remaja mereka sedang dalam proses mencari jati diri. Itu sebabnya contoh yang baik dan pendidikan moral yang lebih intens akan sangat berpengaruh terhadap cara pandang mereka. Pendidikan karakter sangat penting dalam level pendidikan ini. Itulah sebabnya, diperlukan reorientasi model pendidikan kita yang selama ini masih bertumpu pada nilai semata.

Pendidikan agama dan nilai-nilai kepribadian perlu diintensifkan pada level pendidikan dasar dan menengah untuk membentengi generasi kita dari kebobrokan moral. Pendidikan agama inilah benteng pertahanan yang menjadikan sebuah bangsa menjadi bangsa besar yang mandiri, jujur dan berintegritas. Sebagai negara yang berketuhanan Yang Maha Esa sudah harusnya pendidikan agama menjadi tumpuan setiap level sekolah untuk menanamkan nilai-nilai moral yang kuat di negeri ini. Wallahua’lam bishawab.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline