Lihat ke Halaman Asli

Ibadah Puasa dan Transformasi Sosial

Diperbarui: 18 Juni 2015   06:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Ibadah Puasa dan Transformasi Sosial

Oleh

Wajiran, S.S., M.A.,

(Dosen FSBK UAD & Mahasiswa Program Doktor/S3

University of Tasmania, Australia)

Agama islam adalah agama yang paling sempurna. Sebagaimana Allah wahyukan bahwa agama Islam adalah agama yang sudah disempurnakan (QS Al-Maidah:3). Hal ini dapat kita lihat dari semua ajarannya yang rasional dan memberikan manfaat bagi umat manusia. Islam diturunkan adalah untuk rahmat bagi seluruh alam, rahmatal lilallamiin (QS Al-Anbiya: 107).

Sebagai agama yang sudah disempurnakan, Islam memberikan implikasi pada kesempurnaan manusia. Yaitu bahwa manusia yang beriman harus memiliki hubungan yang baik dengan Tuhan maupun dengan sesama manusia (QS Al-Hujurat: 10-13, An-Nisa: 86) . Istilah populernya adalah seorang yang beriman harus soleh secara individual juga sholeh sosial. Seorang yang beriman tidak bisa hanya mementingkan dirinya sendiri, mencari keselamatan dirinya sendiri tetapi juga untuk orang-orang yang ada di sekelilingnya.

Berkait erat dengan anjuran memberi manfaat bagi seluruh alam. Ajaran Islam, baik ibadah mahdhoh maupun ghoiru mahdhoh selalu memiliki korelasi antara kewajiban individu dan kewajiban sosial. Ibadah dalam Islam seperti; sholat, puasa, dan zakat adalah ajaran-ajaran yang merupakan realisasi dari keimanan seseorang yang memiliki manfaat kesholehan individu sekaligus sosial. Bagi seorang yang beriman ia harus mengerjakan sholat. Ibadah sholat yang baik bukanlah sholat yang dikerjakan sendiri-sendiri, tetapi lebih utama dikerjakan berjamaah, bersama-sama.Ini artinya ibadah sholat pun bukan sekedar seruan mendekatkan diri kepada Allah semata, tetapi juga mengandung arti sosial. Sholat berjamaah adalah representasi model kepemimpinan dalam islam sekaligus cara bermasyarakat.

Selanjutnya ibadah yang berupa membayar zakat sudah jelas berkait erat dengan kehidupan sosial. Seseorang yang menyatakan beriman maka ia harus menyadari bahwa sebagian dari rezki yang dimilikinya ada sebagian milik fakir miskin (QS Al-Baqarah: 43, 83, 110) . Maka dari itu setiap orang yang beriman harus membayar zakat (termasuk di dalamnya infaq dan shodaqah). Zakat adalah gambaran dari kesadaran sosial yang sangat penting bagi kebersamaan dan sekaligus demi kemakmuran bersama (Pemerataan). Zakat dimaksudkan bagi setiap orang yang beriman agar memiliki rasa solidaritas terhadap sesama. Dengan demikian, sesama umat muslim tidak ada diskriminasi, sebaliknya harus saling tolong-menolong.

Berkenaan dengan puasa yang saat ini sedang kita jalankan. Puasa adalah sebuah ibadah yang dilakukan dengan menahan lapar dan dahaga. Pengertian ini nampak sederhana, tetapi implikasinya tidaklah sesederhana itu. Puasa dilakukan oleh setiap orang beriman dengan tujuan agar kita menjadi orang yang bertaqwa (Al-Baqarah; 183). Itulah sebabnya amalan ibadah puasa memiliki makna yang sangat luas, baik secara individual maupun sosial.

Aktivitas ibadah puasa memang hanya menahan lapar dan haus dalam jangka waktu tertentu. Tetapi maksud dari puasa adalah agar kita mampu mengendalikan hawa nafsu perut kita. Hawa nafsu makan dan minum adalah kunci dari kesehatan lahir dan batin kita. Dalam teori kesehatan sudah terbukti bahwa kunci kesehatan badan kita ditentukan oleh pola pengendalian makanan yang masuk dalam tubuh. Saat ini banyak orang mengalami gangguan kesehatan bukan karena kelaparan, tetapi disebabkan oleh kebanyakan makan. Penyakit overnutrisi adalah penyakit manusia modern yang menjadi pembunuh paling mematikan. Bahkan timbulnya berbagai penyakit yang ada di dalam tubuh manusia juga tidak lepas dari apa yang mereka masukkan ke dalam perut mereka.

Selain berpengaruh secara fisik, puasa juga mempengaruhi batin kita. Dalam puasa kita mengendalikan makanan yang masuk dalam tubuh kita maka secara tidak langsung kita telah mengatur hawa nafsu kita. Hawa nafsu adalah bagian dari keinginan yang ada di dalam otak kita. Jika kita mampu mengendalikan hawa nafsu maka kita telah mampu mengendalikan pikiran kita. Pikiran kita terkendali oleh kesadaran diri kita, bukan hawa nafsu yang mengendalikan kita. Buktinya kita mampu menahan kehendak jiwa/nafsu yang mendorong diri kita untuk memasukan sesuatu ke dalam mulut kita. Kemampuan ini dengan sertamerta akan melatih jiwa kita untuk bersabar, jujur dan bertanggungjawab (meskipun tidak seorang pun tahu apa yang kita lakukan).

Dengan kemampuan mengendalikan hawa nafsu makan dan minum, diharapkan kita mampu mengendalikan dorongan-dorongan hasrat yang berlebihan dalam diri kita. Di sinilah yang akan membedakan kita dengan binatang. Manusia adalah makhluk mulia yang hidup bukan sekedar makan, tidur dan berkembang biak. Manusia yang bertakwa (sebagaimana diharapkan dari hasil berpuasa), maka manusia itu harus memiliki predikat taqwa atau ittiqa. Yaitu manusia yang mampu memproteksi diri dari segala bentuk nafsu kebinatangan yang menganggap perut besar sebagai agama. Itulah makna puasa yang ditujukan agar kita menjadi manusia yang bertakwa yaitu yang mampu mengendalikan nafsu kebinatangan di dalam dirinya.

Puasa dan transforamsi personal

Berkenaan dengan pengendalian hawa nafsu, maka puasa yang sempurna harus diikuti oleh sifat-sifat mulia bagi seorang yang beriman. Seperti pada tujuan akhir dari puasa adalah agar kita menjadi orang yang bertaqwa. Maka puasanya orang yang beriman bukan hanya mampu menahan hawa nafsu makan dan minum saja tetapi juga tercapainya sebuah personal atau pribadi yang benar-benar bertaqwa. Pribadi yang beriman dan bertaqwa adalah pribadi yang percaya pada kekuasaan Allah sebagaimana yang terdapat dalam rukun iman (baca: rukun iman). Dengan meningkatnya keimanan seseorang maka akan tercermin pribadi yang istiqamah dalam kebenaran dan dalam kesabaran.

Pertanyaan kita selanjutnya adalah apa yang dimaksud dengan pribadi yang beriman/bertaqwa itu? Pribadi yang beriman adalah pribadi yang sepanjang hidupnya hanya mencari ridho Allah. Ia tidak semata-mata mencari kebahagiaan dunia, tetapi segala amal perbuatannya ditujukan untuk mencari ridho Allah SWT. Maka dari itu seorang yang beriman haruslah;

Pertama; segala amal perbuatan hanya ditujukan untuk mencari ridho Allah. Tidak ada niat sedikitpun di dalam hatinya niatan untuk bermegah-megahan atau bahkan sekedar mencari pujian manusia. Segala yang dimiliki adalah titipan, oleh karena itu harus dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk kebaikan umat manusia. Karena pada dasarnya semua harta dan benda duniawi adalah sarana untuk memberikan kebaikan bagi sesama. Dalam kata lain sebagai sarana beribadah kepada Allah SWT.

Kedua, seseorang yang mementingkan keridhoaan Allah adalah mereka yang ikhlas dalam menjalani kehidupan. Kehidupannya jauh dari sifat suka mengeluh apalagi menghujat. Apapun kondisi yang dihadapi diterimanya sebagai amanah dari Tuhannya. Ia tidak banyak menuntut, tetapi mensyukuri semua sebagai karunia. Sifat ikhlas ini tercermin dalam tindakan sehari-hari dimana dia tidak pernah iri dengan rizki yang diterima oleh saudaranya (karena mungkin lebih banyak darinya). Meskipun orang lain menerima nikmat yang lebih banyak darinya, ia tidak iri dan dengki.

Ketiga, sifat mulia lainnya bagi seseorang yang beriman adalah kesukaanya untuk memberi daripada menerima. Memberi baik dalam bentuk materi maupun berupa nasehat (gagasan, pemikiran dll.). Setiap kata yang dikeluarkan tidak lain adalah kata-kata yang bermanfaat. Mengandung analisis mendalam sekaligus mengandung unsur penyelesaian masalah (gagasan). Itu sebabnya seorang yang beriman tidak pernah berkata kasar apalagi kotor. Kata-kata yang mengandung kebenaran diiucapkan tanpa keraguan dan semua diucapkan dengan ketegasan.

Keempat, sifat mulai seorang yang beriman selalu memegang prinsip berkata yang baik atau lebih baik diam. Ia tidak menutup-nutupi sebuah pemikiran yang benar. Ia sangat selektif di dalam mengemukakan pemikiran. Tidak semua yang ada dalam perasaannya diluapkan secara sembarangan. Semua dikonsep dan dirumuskan berdasarkan atas kebenaran. Itu sebabnya seorang yang beriman sangat jauh dari sifat dan tindakan suka menggunjing, memfitnah, mencaci, dan memaki. Kebenaran selalu diucapkan secara jujur dan terang-terangan. Tidak ada kesempatan untuk membicarakan keburukan orang lain dari belakang, tetapi lebih suka mendiskusikan dengan harapan mendapatkan kebenaran dan penyelesaian.

Puasa dan transformasi sosial

Sungguh sangat disayangkan saat umat islam sudah melaksanakan puasa setiap tahun, tetapi cerminan dari hasil puasa itu terasa masih jauh panggang dari api. Puasa yang sudah dilaksanakan bertahun-tahun itu belum juga membekas dalam diri. Itu sebabnya pasti ada yang salah dalam berpuasa kita. Niat menjadi kunci utama dalam melaksanakan amal ibadah. Itu sebabnya yang perlu kita evaluasi adalah kebenaran dan ketulusan atas niatan puasa kita.

Hasil dari puasa kita belum tercermin dalam kehiudupan kita yang penuh kasih sayang dan tolong menolong sebagaimana yang dianjurkan dalam islam. Sebaliknya kita masih banyak melihat pertengkaran atarumat terutama sesama muslim di negeri ini. Ironisnya hanya karena berbeda pandangan, berbeda pilihan partai, berbeda pilihan calon presiden sampai memutus persaudaraan. Lebih ironis lagi kita sangat mudah mengkafirkan saudara sesama muslim.

Masyarakat kita yang mayoritas muslim juga masih membudayakan tindakan ghibah. Aktivitas menggunjing, membicarakan keburukan orang lain sangat marak dilakukan masyarakat kita di negeri ini. Saking gandrungnya dengan tindakan ghibah, sampai tindakan ini dijadikan sebagai lahan bisnis. Hampir semua media televisi memiliki program ghibah ini secara terbuka. Tindakan yang jauh dari nilai-nilai islam ini bukanya berkurang pemirsanya tetapi justru memiliki rating pemirsa yang paling besar. Terbukti program acara ini selalu mendapat pemirsa yang paling banyak dibandingkan acara-acara lain. Ironisnya lagi program ini selalu tayang di jam-jam utama. Padahal jelas aktivitas ini dilarang dalam islam (QS Alhujurat:12).

Masyarakat yang mayoritas muslim tidak serta merta menjadi penguasa di negeri ini. Hal ini menunjukan betapa lemahnya persaudaraan sesama muslim. Ajaran islam yang menganjurkan untuk saling mengasihi dan mencintai saudaranya, seolah hanyalah slogan belaka. Pasalnya persaudaraan hanya terjadi dengan sesama golongan tetapi dengan golongan lain sangatlah minim. Ironisnya lagi terkadang persaudaraan dengan beda agama bisa lebih erat dibandingkan dengan persaudaraan sesama muslim beda aliran keagamaan. Hal ini tentu bertolakbelakang dengan anjuran dalam islam “Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara. Karena itu, damaikanlah kedua saudara kalain, dan bertakwalah kalaian kepada Allah sudapa kalian mendapatkan rahmat (QS Al-Hujurat:10). Islam menganjurkan berkasih sayang dengan sesama muslim karena mereka ibarat satu tubuh. Dimana jika salah satu bagian ada yang terasa sakit maka bagian lain ikut merasakannya (HR Bukhari, At-Tirmizi, an-Nasa’i dan Ahmad).

Sudah sangat jelas bagaimana ajaran islam untuk saling bersatu, terutama sesama muslim. Karena tidak akan masuk surga bagi kita yang masih saling bertengkar dan ingin menang sendiri. Apapun alasannya perbedaan tidak boleh memecah belah implementasi persaudaraan sesama muslim. Jikapun terjadi perbedaan apalagis ekedar perbedaan pandangan mengenai persoalan dunia maka semua harus dikalahkan dan harus lebih mengutamakan persaudaraan. Sebagaimana yang dijelaskan di dalam seubuah hadits; “Kalian tidak masuk surga hingga kalian beriman dan belum sempurna keimanan kalian hingga kalian saling mencintai.. (HR Muslim).

Menurut Rakhmat S Labib (2011), sesama muslim harus bersikap Dzillah: yang meliputi sifat kasih sayang, welas asih dan lemah lembut (QS. Al Maidah: 54), bersikap ramah terhadap umat islam (QS AL Fath:29); dan rendah hati kepada kaum mukmin (QS Al Hijr:88). Dengan demikian sesama muslim harus saling mengasihi dan saling tolong menolong dalam kebaikan (QS Al-Maidah: 2). Saling beramar makruf dalam kebaikan dan gotongroyong menumpas kemungkaran (QS Al-Baqarah: 177).

Puasa dan kemajuan bangsa

Mungkin sebagian besar kita sulit mengaitkan kemajuan sebuah bangsa dengan aktivitas puasa. Puasa yang sebenarnya hanya menahan lapar dan haus, ternyata memiliki makna yang sangat mendalam sekaligus sangat berkait irat dengan kemajuan sebuah umat (bangsa dan negara). Bagaimana tidak, puasa telah mengajarkan kepada umat manusia untuk bersikap hemat dan cermat dalam hidup.

Dengan berpuasa umat islam harus bersikap hemat dalam menggunakan harta yang telah diperolehnya. Puasa juga mengajarkan umat bersikap cermat dalam mengatur pengeluaran, membagi rezki yang didapatnya bukan sekedar untuk memperturutkan hawa nafsunya, tetapi juga harus banyak memberikan kepada kaum dhuafa, mereka kaum miskin yang membutuhkanya.

Puasa mengajarkan kepada kita berbuat jujur. Tidak boleh kita membohongi diri sendiri dengan berpura-pura puasa tetapi di tempat yang tidak diketahui orang lain kita makan dan minum sebagaimana orang yang tidak berpuasa. Saat berpuasa hanya kita sendiri dan Tuhan yang tahu atas apa yang kita lakukan. Baik niat maupun tindakannya hanya yang bersangkutan yang mengetahuinya. Makanya dengan berpuasa kita dilatih untuk bersikap jujur dan tidak membohongi orang lain.

Kejujuran ini sangat penting dalam kehidup sosial masyarakat dimana masalah utama dalam pembangunan bangsa dan negara ini adalah rendahnya sikap jujur. Negeri ini dipenuhi oleh para koruptor karena banyaknya orang-orang serakah dan penipu. Banyaknya tindakkan korupsi tidak lepas dari ketidakpahaman akan esensi puasa dalam islam. Puasa dianggapnya hanya menahan lapar dan dahaga, walhasil puasa tidak merubah yang bersangkutan untuk bersikap jujur pada diri sendiri dan pada Tuhannya. Sikap jujur ini jika diimplementasikan dalam kehidupan, terutama dalam berbangsa dan bernegara tentu akan sangat berpengaruh terhadap kemajuan sebuah bangsa.

Puasa dan idul fitri

Ibarat kepompong, puasa adalah masa kita untuk berdiam diri. Kita harus memperbanyak beribadah dan mendekatkan diri kepada sang pencipta. Itu sebabnya pada bulan Ramadhan Allah telah mengabarkan pada kita bahwa saat itu semua syaitan diikat sedangkan pintu surga dibuka selebar-lebarnya (QS Al-Baqarah: 186).

Himbauan ini mengandung makna bawa saat inilah, bulan yang terbaik dibandingkan dari bulan-bulan yang lainnya. Dimana setiap amal ibadah kebaikan akan dilipatgandkan. Itu sebabnya kita harus memanfaatkan sebaik-baiknya untuk menabung amal kebaikan sebanyak-banyaknya. Dengan demikian setelah selesai menjalankan amal ibadah puasa, kita akan menjadi manusia yang fitri atau bersih dari dosa. Ibarat seekor ulat yang sudah menjadi kepompong. Ia akan memiliki perubahan baik fisik maupun mental.

Sebelum melakukan meditasi seekor ulat adalah seekor binatang yang menjijikan sekaligus menakutkan. Tidak semua orang suka melihat apalagi memegangnya. Ulat memiliki bentuk yang menakutkan bagi sebagian orang, jika dipegangpun akan menimbulkan rasa gatal. Tetapi setelah masa meditasi selesai dan seekor ulat sudah keluar dari kempompongya akan berubah menjadi seekor kupu-kupu yang indah dipandang. Baik makanan dan tindakannya pun jauh berbeda dengan sebelumnya. Jika sebelumnya ia makan daun yang masih kasar pada saat ia sudah menjadi kupu-kupu makanannya menjadi madu yang lebih nikmat. Kupu-kupu sangat indah dipandang. Semua orang suka padanya dan ia pun tidak lagi berjalan pelan merambat pada pohon, tetapi ia bisa terbang dengan indahnya.

Idulfitri adalah puncak dari sebuah kesuksesan dalam berpuasa. Dalam fase ini manusia diistilahkan kembali ke fitrah. Yaitu kembali pada kesucian dan kebersihan baik fisik maupun mental. Gemblengan saat puasa diharapkan menjadikannya bersih lahir dan batin sehingga predikat muttaqin itu benar-benar diperolehnya. Orang yang berhasil dari masa penggemblengan itu akan memiliki hati yang tulus, berpikiran jernih, berhati tulus dan memiliki sifat kedewasaan, kedamaian dan kemanusiaan yang lebih baik dari sebelumnya.

Idul fitri menjadi puncak dari sebuah ibadah puasa yang sudah dilakukan sehingga nampak di dalam pribadinya yaitu pribadi yang lebih peka terhadap persoalan sesamanya. Ia akan lebih dermawan karena itu akan lebih mementingkan saudaranya daripada dirinya sendiri. Orang yang beriman harus lebih banyak berkorban daripada mencari kemengan pribadi.

Penutup

Kita berharap semoga puasa kali ini menjadikan kita lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya. Semoga kita mampu melakukan transformasi personal sehingga akan terjadi transformasi sosial karena perubahan pribadi yang lebih baik dalam diri kita bersama.

Amal ibadah puasa yang kita lakukan dengan sungguh-sungguh, ikhlas dan teguh pasti akan membekas dalam diri kita. Sehingga kita akan menjadi orang yang benar-benar bertaqwa, yaitu orang yang mendedikasikan seluruh hidupnya hanya untuk mencari didho Allah SWT. Kita menjadi manusia yang tidak ingin menang sendiri di dalam hidup tetapi ingin selalu bermanfaat bagi orang lain. Semoga puasa kali ini adalah tonggak perubahan bagi diri kita dan masyarakat kita mencapai pada masyarakat baldatun toyyibatun warobun ghofur. Amin.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline